Senin, 20 Oktober 2025

Postur Hati yang Menggerakkan Hati Yesus

                   Shalom , Tadi pagi, di saat teduh, Roh Kudus membawa saya ke sebuah peristiwa dalam Yohanes 11 ,  kisah tentang kematian dan kebangkitan Lazarus. Namun yang menarik bukan hanya mujizatnya, melainkan respon dua orang yang sangat dekat dengan Yesus: Marta dan Maria. Keduanya datang kepada Tuhan dan mengucapkan kalimat yang sama, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Kalimat yang sama, tetapi hasilnya berbeda. Ketika Marta berkata demikian, Yesus menjawab dengan perkataan, “Saudaramu akan bangkit.” Namun ketika Maria berkata hal yang sama, Alkitab mencatat, “Maka tergeraklah hati Yesus.” Yesus tidak lagi hanya berbicara , Ia langsung bertindak.


Kuncinya ada di Yohanes 11:32. Saat Maria datang kepada Yesus, ia tidak sekadar berbicara  ia tersungkur di kaki-Nya. Kata “tersungkur” dalam bahasa Yunani adalah prospiptō, yang berarti jatuh bersujud di depan seseorang, merebahkan diri sebagai bentuk penghormatan atau penyembahan. Dengan kata lain, Maria datang bukan sekadar meminta, tetapi menyembah. Ia menaruh seluruh dirinya di hadapan Yesus, dengan rasa hormat dan penyerahan total. Marta datang dengan logika dan permohonan, tetapi Maria datang dengan air mata dan penyembahan. Dan dari posisi itu, hati Yesus tergerak. Ia tidak hanya terharu, tetapi terguncang , bukan karena kematian Lazarus semata, melainkan karena Ia melihat penyembahan sejati di tengah kehilangan. Maria tidak sedang berteori tentang kebangkitan, ia sedang mempercayai Sang Kebangkitan itu sendiri. Dari tempat tersungkur itulah kuasa Allah mulai bekerja, dan mujizat kebangkitan dinyatakan. Tersungkur bukanlah tanda kelemahan, melainkan pengakuan bahwa hanya Tuhan yang berkuasa. Di tempat terendah, justru kuasa tertinggi dinyatakan. Dan menariknya, setiap kali Maria disebut dalam Injil, ia selalu ditemukan di kaki Yesus  di rumah Simon, di rumahnya di Betania, bahkan di saat kebangkitan Lazarus. Ia tahu tempat di mana kuasa Tuhan mengalir: di kaki Yesus. Di situ ada penyembahan, pengenalan, dan keintiman. Maria tidak mengejar jawaban, ia mengejar Pribadi itu sendiri.

                 Sekali lagi terbukti, ketika Maria tersungkur, ada rasa hormat yang mendalam dan hormat itu membuka sesuatu yang tertutup menjadi terbuka. Di hadapan orang yang menghormati-Nya, Yesus tidak bisa diam. Rasa hormat selalu membuka jalan bagi hadirat dan kuasa Tuhan untuk bekerja. Banyak orang bisa berkata kepada Tuhan, tetapi tidak semua datang dengan hati yang menghormati-Nya. Maria tidak hanya berbicara, ia mempersembahkan hatinya. Dan ketika hati yang penuh hormat itu tersungkur di hadapan-Nya, maka yang tertutup pun terbuka  bahkan kubur yang tertutup rapat sekalipun.


BHS

Jumat, 17 Oktober 2025

Mujizat dan Pembuat Mujizat

               Mujizat Tuhan itu masih ada, dan masih terjadi sampai hari ini. Itu bukan sekadar cerita masa lalu atau kisah Alkitab yang hanya untuk dibaca—itu nyata, hidup, dan tetap bekerja hingga hari ini. Saya percaya bahwa kuasa supranatural Tuhan tidak pernah berakhir, karena Yesus yang dulu menyembuhkan, adalah Yesus yang sama hari ini dan sampai selama-lamanya. Namun, pagi ini saya merenungkan sesuatu yang sangat penting: mujizat itu nyata, tetapi tidak semua orang yang mengalaminya mengalami perubahan sejati. Kisah sepuluh orang kusta dalam Lukas 17:11–19 mengingatkan kita akan hal ini. Sepuluh orang kusta berseru kepada Yesus dari kejauhan, memohon belas kasihan. Yesus memandang mereka dan hanya berkata, “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan Alkitab mencatat bahwa di tengah perjalanan mereka, mereka menjadi tahir. Sepuluh orang itu sembuh. Sepuluh orang itu mengalami kuasa Tuhan. Tapi yang menarik adalah , hanya satu yang kembali. Hanya satu yang tersungkur di kaki Yesus dan bersyukur. Hanya satu yang kembali untuk menyembah Sang Pemberi mujizat, bukan hanya menikmati hasil mujizat itu. 


Yesus lalu bertanya, “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?” (Lukas 17:17). Pertanyaan ini menusuk hati. Mengapa hanya satu yang kembali? Jawabannya sederhana namun sangat dalam: karena mujizat tidak mengubah hati manusia. Banyak orang bisa mengalami kuasa Tuhan, tetapi tidak semua mengenal Pribadi di balik kuasa itu. Mujizat bisa membuat seseorang kagum, tapi hanya perjumpaan dengan Yesus yang membuat seseorang berubah. Sembilan orang itu sembuh, tetapi mereka berhenti pada kesembuhan; mereka lupa untuk kembali kepada Sumber kesembuhan itu sendiri. bukankah hal ini sering kita alami ? kita lihat ? ada banyak orang mengalami mujizat , kesembuhan bahkan financial  tapi itu tidak bertahan lama bahkan orang-orang yang sudah mengalami mujizat ini tidak mempedulikan siapa yang menyembuhkannya. jawabanya ya karena banyak orang mengejar mujizat tapi lupa dengan sang pembuat mujizat. mujizat seperti ini tidak bertahan lama, akan ada circle yang berulang karena yang mengalami mujizat belum bertemu dengan sang pembuat mujizat itu sendiri. dari 10 orang  hanya orang yang satu ini yang kembali kepada Yesus, yang sujud menyembah dan bersyukur dia menerima sesuatu yang lebih dari sekadar kesembuhan. Yesus berkata kepadanya, “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” Dalam versi lain, Yesus berkata, “I will make you whole”—Aku akan membuat engkau sempurna.

              Kata “whole” berarti bukan hanya sembuh secara fisik, tapi dipulihkan secara utuh—tubuh, jiwa, dan roh. Orang yang sakit kusta biasanya kehilangan anggota tubuh: jari, hidung, telinga, bahkan sebagian wajah. Sembilan orang lainnya mungkin tidak lagi menanggung penyakit, tetapi bekas luka mereka tetap ada. Mereka sembuh, tetapi tidak dipulihkan. Namun satu orang yang kembali kepada Yesus, yang berlari mengejar-Nya dan tersungkur di hadapan-Nya, dialah yang mengalami pemulihan total. Ketika Yesus berkata, “Aku akan membuatmu utuh,” itu berarti bagian-bagian yang hilang pun dipulihkan, luka-luka lama disembuhkan, dan hidupnya dijadikan sempurna di hadapan Tuhan.

Inilah kebenaran yang sering terlupakan: mujizat bisa mengubah keadaan, tapi hanya Yesus yang bisa mengubah kehidupan. Mujizat bisa menyembuhkan tubuh, tapi hanya hubungan dengan Yesus yang memulihkan hati. Mujizat bisa datang dan pergi, tapi perjumpaan dengan Yesus membawa perubahan yang kekal. Karena itu, jangan hanya mencari mujizat—carilah Yesus. Jangan hanya bersyukur atas berkat, tapi kembalilah kepada Sang Pemberi berkat. Sebab mujizat itu sementara, tetapi bersama dengan Yesus, perubahan itu akan selamanya.


BHS

Kamis, 16 Oktober 2025

Meditasi Firman

                  Beberapa waktu ini saya banyak merenungkan dan mempelajari tentang The Power of the Word  kuasa dari Firman Tuhan. Sampai hari ini saya tetap percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya jawaban bagi setiap aspek kehidupan kita. Di tulisan saya sebelumnya, saya sudah menjelaskan tentang perbedaan antara Logos dan Rhema (Anda bisa membacanya kembali di tulisan sebelumnya). Dan kali ini, kita akan melangkah lebih dalam lagi untuk memahami bagaimana cara merenungkan Firman Tuhan — atau meditasi Firman.

Apa Itu Meditasi Firman?

Kata “merenungkan” dalam Yosua 1:8 berasal dari bahasa Ibrani “hagah” (הָגָה), yang berarti to mutter, to speak under your breath  , berbicara pelan, memperkatakan dengan lembut, atau menggumamkan terus-menerus. Artinya, merenungkan Firman bukan sekadar berdiam diri atau memikirkannya dalam hati, tetapi memperkatakan, mengulang, dan mengunyah Firman itu terus-menerus sampai menjadi bagian dari hidup kita. Meditasi Firman adalah proses aktif, bukan pasif. Kita melibatkan pikiran, mulut, dan hati sampai Firman itu menembus dan mengubah seluruh keberadaan kita.

“Tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.” (Mazmur 1:2)

                Orang yang merenungkan Firman siang dan malam digambarkan seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang berakar kuat, berbuah pada waktunya, dan tidak layu daunnya.
Inilah rahasia kehidupan yang berbuah dan penuh kuasa: bukan seberapa banyak kita tahu Firman, tetapi seberapa dalam Firman itu tertanam di hati kita. Merenungkan Firman bisa kita ibaratkan seperti seekor sapi yang mengunyah makanannya berulang kali  , dikeluarkan, dikunyah, dan dimasukkan kembali , sampai seluruh sari makanan itu terserap dan memberi kekuatan bagi tubuhnya. Demikian juga dengan Firman Tuhan: kita mengulanginya, memperkatakannya, merenungkannya kembali, sampai kebenaran itu betul-betul menyatu dan tertanam dalam hati.

            banyak orang berhenti hanya pada tahap mengetahui Firman. Mereka mengoleksi ayat-ayat dan menghafalkannya, tetapi Firman yang hanya tersimpan di kepala tidak akan pernah berbuah, karena belum tertanam di hati dan Roh. Menghafal ayat bisa dilakukan dalam lima menit, tetapi membiarkan Firman itu berakar dan mengubah hidup   itu membutuhkan waktu bersama Tuhan. Yesus menjelaskan hal ini dalam perumpamaan tentang penabur: benih Firman memiliki kuasa, tetapi kuasa itu hanya bekerja jika benih itu ditanam di tanah hati yang baik  hati yang terbuka dan taat. Banyak orang hanya mengumpulkan benih, tapi tidak pernah menanamnya. misal seorang petani yang memiliki berbagai macam benih buah-buahan , tapi benih itu hanya jadi koleksi di gudang dan tidak pernah ditanam . Akibatnya, tidak pernah ada pertumbuhan, tidak ada kehidupan, dan tidak ada buah yang muncul.

            Kita perlu memahami bahwa meditasi orang percaya berbeda sepenuhnya dari meditasi dunia. Meditasi dunia mengajarkan untuk mengosongkan pikiran, mencari ketenangan melalui kekosongan, dan melepaskan beban agar merasa damai. Namun, meditasi orang percaya bukan tentang mengosongkan pikiran dan hati, melainkan mengisinya dengan Firman Tuhan. Kita tidak dipanggil untuk mencari kekosongan, tetapi untuk mencari kepenuhan , kepenuhan akan kebenaran, kepenuhan akan hadirat, dan kepenuhan akan Firman yang hidup.

“Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yohanes 8:32)

                Ketenangan sejati tidak lahir dari pikiran yang kosong, melainkan dari hati yang dipenuhi oleh kebenaran dan kasih Tuhan. Saat kita merenungkan Firman, kita sedang menukar kebohongan dunia dengan kebenaran Allah, menukar kekhawatiran dengan damai sejahtera, dan menukar kebingungan dengan hikmat sorgawi. Inilah meditasi sejati — bukan pengosongan, melainkan pengisian oleh Firman yang hidup, yang membawa kemerdekaan. Karena hanya Firman yang mengisi hati kitalah yang sanggup memerdekakan, menyembuhkan, dan mengubah hidup kita dari dalam.

Selamat meditasi Firman , dan rasakan perubahan yang besar dalam kehidupanmu.


BHS 

Selasa, 14 Oktober 2025

Right Hearing Building Faith !

                  Mendengar adalah pintu masuk ke dalam hidup kita. Segala sesuatu yang kita izinkan masuk baik yang membangun maupun yang merusak biasanya datang melalui pancaindra, dan salah satu pintu utamanya adalah telinga. Telinga menjadi gerbang pertama menuju hati, sebab apa yang kita dengar dapat membentuk arah hidup dan keadaan rohani kita. Alkitab berkata, 

“Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus” (Roma 10:17). 

Artinya, ketika kita mendengar suara firman Tuhan, sesungguhnya yang sedang dibangun adalah manusia roh kita. Karena itu, mendengar bukan hanya soal fungsi indra, tetapi sebuah proses rohani yang menentukan siapa yang sedang membangun hidup kita , Tuhan atau dunia. ada beberapa hal secara singkat yang akan saya bahasa tentang mendengar :

1. Obedience (ketaatan) lahir dari mendengar.  Baru kemaren saya dituntun Roh Kudus untuk mempelajari kata " ketaatan " yang saya pikir tentang melakukan sesuatu , ternyata lebih dalam dari sekedar melakukan. Kata obedience dalam bahasa Yunani adalah hupakoē, yang berarti “mendengar di bawah otoritas”, atau mendengar dengan hati yang tunduk dan siap melakukan kehendak Allah 

Dalam budaya Ibrani dan Yunani kuno, ketaatan selalu didahului oleh mendengar. Artinya, seseorang belum dikatakan taat sebelum ia benar-benar mendengar dengan hati dan menundukkan dirinya kepada apa yang ia dengar. Jadi, ketaatan bukan sekadar melakukan apa yang kita tahu, tetapi mendengar dengan sikap hati yang tunduk pada otoritas Tuhan, lalu melakukannya. Ketika firman Tuhan masuk melalui telinga kita, firman itu sedang mencari hati yang mau tunduk karena hanya hati yang tunduklah yang mampu mengubah pendengaran menjadi tindakan.

2. Domba-domba-Ku mendengar suara-Ku. Yesus berkata bahwa domba-domba-Nya mengenal suara Gembalanya (Yohanes 10:27). Artinya, kemampuan untuk membedakan suara Tuhan adalah tanda hubungan yang hidup antara domba dan Gembala. Suara Gembala itu tertulis dalam Alkitab sebagai written Word (firman yang tertulis). Ketika kita terus membaca dan merenungkan firman Tuhan, dari written Word kita akan bertemu dengan living Word—Firman yang hidup, yang berbicara langsung ke dalam hati kita. Di sanalah kita mulai belajar mendengar dengan telinga hati, bukan hanya telinga jasmani. Orang yang mengenal Gembalanya akan peka membedakan mana suara kebenaran dan mana suara asing. Ia tidak mudah tertipu oleh kebisingan dunia, karena ia mengenal nada, irama, dan isi hati Sang Gembala Agung.

3. Jaga telinga, jaga hatimu. Kita tidak hanya mendengar dengan telinga jasmani, tetapi juga dengan telinga hati. Namun musuh sering kali melemparkan noise suara-suara asing yang bukan berasal dari kebenaran untuk mengacaukan pikiran, perasaaan bahkan dapat menembus pintu hati kita. 

Amsal 4:23 berkata, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” 

Semua suara bisa terdengar oleh telinga fisik, kadang kita tidak bisa memilih , ada orang yag tiba-tiba melemparkan kalimat yang meruntuhkan dan negatif , dalam hal ini kita tidak bisa memilih tetapi tidak semua boleh masuk ke hati. pintu hati ini hanya kita yang bisa membukanya. meskipun pintu telinga terbuka , tapi pintu hati tidak mengijinkan untuk masuk maka suara itu tidak akan berpegaruh apa-apa dalam hidup kita.  Hati yang dijaga dengan firman akan menjadi benteng dari segala kebisingan yang menyesatkan. Karena itu, kuasailah telinga rohanimu dengan firman kebenaran. Biarkan hanya suara Tuhan yang mendapat ruang untuk membentuk hatimu. Sebab sekali lagi saya tekankan bahwa mendengar adalah pintu masuk dan dari pintu itulah sesuatu bisa membangun atau merobohkan hidup rohanimu. Ketika yang kita dengar adalah suara ilahi, bangunan rohani kita akan semakin kokoh, iman kita akan semakin aktif, dan hati kita akan tetap terarah kepada Gembala yang sejati. Maka hari ini, pintu mana yang akan engkau buka?


BHS 

Senin, 13 Oktober 2025

The Power Of Rhema !

                 Firman Tuhan memiliki kuasa yang tidak terbatas. apakah anda sepakat dan setuju dengan statement awal ini ? . Sejak awal mula, sebelum manusia mengenal bahasa untuk berkomunikasi, perkataan Tuhan telah bekerja untuk menciptakan. Dalam Kejadian 1, kita melihat bagaimana setiap kali Tuhan berfirman, sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. “Jadilah terang,” dan terang pun jadi. Firman Tuhan bukan sekadar suara; Ia adalah kuasa penciptaan yang hidup dan bekerja.

Yesaya 55:11 menegaskan:

“Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.”

Setiap perkataan yang keluar dari mulut Allah tidak pernah gagal. Firman itu mengandung kehidupan dan kuasa yang mampu mengubah keadaan. Sama seperti ketika Petrus berjuang sepanjang malam tanpa hasil, namun ketika Yesus berkata, “Lemparkanlah jalamu ke sebelah kanan perahu,” (Yohanes 21:6) dan ia taat, mukjizat pun terjadi. Kapalnya hampir tenggelam karena banyaknya ikan! Bukan karena keahlian Petrus berubah, melainkan karena perkataan Yesus memiliki kuasa untuk memberi lebih dari kemampuan manusia untuk menerima.

Namun mari kita jujur , di era modern ini, mengapa banyak orang membaca Firman, bahkan menghafalnya, tetapi hidupnya tetap sama? Sebab Firman Tuhan bukanlah mantra atau jampi-jampi yang cukup dihafalkan untuk menghasilkan keajaiban. Firman itu adalah Pribadi yang hidup yaitu Yesus Kristus sendiri (Yohanes 1:1,14). Saat kita memperlakukan Firman hanya sebagai teks, kita kehilangan perjumpaan dengan Sang Firman itu sendiri.


Di sinilah kita perlu memahami perbedaan antara membaca Firman sebagai Logos dan menerima Firman sebagai Rhema.

1. Logos — Firman yang Tertulis

Logos adalah Firman yang tertulis dalam Alkitab — seluruh isi Kitab Suci yang diilhamkan oleh Roh Kudus (2 Timotius 3:16). Melalui Logos, kita memperoleh pengetahuan, pengertian, dan prinsip hidup yang benar. Logos memberi arah dan dasar iman. Namun jika kita berhenti hanya di Logos, Firman itu baru sebatas informasi. Ia mengisi pikiran, tetapi belum menyentuh hati. Logos adalah pintu masuk bagi kita untuk mengenal Tuhan, tetapi belum tentu membawa perubahan kecuali kita mengalami perjumpaan dengan Pribadi Firman itu sendiri.

2. Rhema — Firman yang Dihidupkan oleh Roh

Rhema adalah Firman yang dihidupkan oleh Roh Kudus untuk situasi tertentu dalam hidup kita. Inilah Firman yang “melompat” dari halaman Alkitab dan berbicara langsung ke dalam hati. Saat Petrus mendengar Yesus berkata, “Lemparkan jalamu ke sebelah kanan,” itu bukan sekadar instruksi biasa , itu adalah Rhema. Firman yang keluar dari mulut Allah, menyentuh ketaatan Petrus, dan melahirkan mukjizat.

             Firman yang hanya menjadi Logos akan menambah informasi, tetapi Firman yang menjadi Rhema akan membawa transformasi. Logos mengajar kita tentang Tuhan, tetapi Rhema mempertemukan kita dengan Tuhan itu sendiri. Logos memberi arah, tetapi Rhema menyalakan iman untuk melangkah. Karena itu, mari kita belajar untuk tidak hanya membaca Firman, tetapi mendengar suara Tuhan di balik setiap ayat yang kita baca. Temui Pribadi-Nya melalui Firman. Dengarkan apa yang Dia katakan secara pribadi dalam setiap situasi hidupmu. Apa yang kau dengar dari perkataan-Nya itulah yang akan mengubahkan hati dan pikiranmu. Dan ketika Firman itu telah hidup dalam hatimu, perkatakanlah. Sebab Firman yang diucapkan dalam iman akan menggerakkan kuasa yang sama seperti saat Tuhan menciptakan dunia dengan Firman-Nya. Hal-hal ajaib sudah menanti setiap orang yang mau percaya, mendengar, dan berjalan dalam Rhema-Nya.

“Sebab iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman (Rhema) Kristus.” – Roma 10:17


BHS 

Rabu, 08 Oktober 2025

Tawanan Roh !

              Di masa mudanya, Musa memiliki hati yang tulus untuk menolong bangsanya. Ia melihat ketidakadilan, dan api belas kasihan itu menyala di dalam dirinya. Namun sayangnya, ia mencoba menegakkan panggilan itu dengan caranya sendiri—dengan kekuatan, kemampuan, dan logika manusia. Ia membunuh orang Mesir yang menindas orang Ibrani, berpikir bahwa tindakan itu akan membebaskan bangsanya. Tapi justru sebaliknya, perbuatannya membuat ia harus melarikan diri, kehilangan posisi, kuasa, dan nama besar. Kadang Tuhan harus membiarkan kita gagal, supaya kita sadar: panggilan Tuhan tidak bisa dijalankan dengan kekuatan manusia.

               Empat puluh tahun di padang Midian menjadi masa penghancuran dan pembentukan. Musa tidak lagi punya apa-apa—bahkan domba yang digembalakannya pun bukan miliknya sendiri. Tapi di tengah kesunyian itu, Tuhan menemuinya di semak duri yang menyala. “Tanggalkanlah kasutmu,” firman Tuhan (Keluaran 3:5). Di zaman itu, melepas kasut berarti melepaskan hak dan kendali. Seperti dalam kisah Rut, orang yang melepaskan kasut sedang menyerahkan hak miliknya kepada orang lain (Rut 4:7–8). Tuhan sedang meminta Musa untuk menyerahkan hak atas hidupnya—hak untuk menentukan jalan, waktu, dan caranya sendiri. Dan lebih dari itu, Tuhan memintanya masuk ke tanah yang kudus, artinya meninggalkan segala jejak dunia lama, karena perjalanan bersama Tuhan hanya bisa dimulai di atas dasar kekudusan.

       

   Di situlah proses rohani Musa dimulai: dari seorang yang berjalan dengan kekuatannya sendiri menjadi seorang tawanan Roh.  Paulus berkata, “Sekarang aku pergi ke Yerusalem sebagai tawanan Roh.” (Kisah Para Rasul 20:22). Seorang tawanan Roh adalah orang yang langkahnya tidak lagi ditentukan oleh ambisi, tetapi oleh dorongan kasih karunia. Ketika Musa melepas kasutnya, ia sebenarnya sedang menyerahkan seluruh hak atas hidupnya kepada Tuhan—itulah awal dari hidup yang ditawan oleh Roh. Sejak hari itu, setiap langkahnya bukan lagi langkah kekuatan manusia, tapi langkah yang dituntun oleh kuasa Roh Kudus. Dan sering kali, Tuhan juga membawa kita ke padang Midian kita sendiri—tempat di mana kita belajar berhenti berjuang dengan kekuatan sendiri, belajar melepas “kasut”, supaya kita pun bisa menjadi tawanan kasih karunia yang berjalan di bawah tuntunan-Nya.

         Mengerjakan hal rohani hanya bisa dikerjakan dengan cara yang rohani , menyelesaikan panggilan Tuhan hanya bisa dikerjakan melalui kasih karunia bukan dengan kekuatan dan cara kita sendiri. 


BHS

Mandat Pemuridan

              Sebelum Yesus mengajar di bukit, sebelum Ia menyembuhkan orang sakit, bahkan sebelum Ia berkhotbah di sinagoge — Ia terlebih dahulu memilih dua belas murid. langkah pertama Yesus bukan membangun pelayanan besar, melainkan membangun kehidupan manusia.

“Lalu Ia naik ke atas bukit dan memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan mereka pun datang kepada-Nya. Ia menetapkan dua belas orang untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil. " Markus 3:13–14

Yesus tidak memulai pelayanan dengan platform, tetapi dengan Hubungan dan persekutuan. Ia tidak mencari penonton, tetapi membangun pewaris Kerajaan. Biasanya, seorang pemimpin baru memikirkan penerus di akhir hidupnya, tetapi Yesus mempersiapkannya sejak awal. Itu artinya, pemuridan bukan tambahan dari pelayanan — pemuridan adalah dasar dari pelayanan.

Jika hal pertama yang Yesus lakukan adalah memuridkan, maka hal itu seharusnya juga menjadi prioritas bagi setiap gereja dan pelayan Tuhan hari ini.

1. Pemuridan Adalah Prioritas Yesus Sejak Awal

Yesus tahu, tanpa murid yang dibentuk dengan karakter Kerajaan, semua pelayanan hanya akan berhenti pada satu generasi.
Itulah sebabnya, sebelum melakukan teaching, preaching, dan healing, Yesus terlebih dahulu membentuk kehidupan dua belas murid — orang-orang yang nantinya akan mengguncang dunia.

Namun di banyak gereja modern, fokus sering bergeser: ibadah raya menjadi pusat, bukan pemuridan. Gereja sibuk dengan acara besar, tata panggung megah, dan pertumbuhan jumlah jemaat — tetapi tidak semua melatih jemaat untuk menjadi murid Kristus yang sejati. Akibatnya, banyak lahir generasi “jemaat lima roti dan dua ikan” — orang-orang yang hanya datang kepada Tuhan untuk diberkati, bukan untuk dibentuk. Mereka mengejar mujizat, tetapi tidak mau memikul salib. Ketika musim pemurnian datang, mereka memilih mundur.

“Sejak waktu itu banyak dari murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” Yohanes 6:66

            Yesus tidak mengejar jumlah, Ia mengejar kedewasaan. Ia tidak mencari pengikut yang ramai, tetapi murid yang siap dibentuk. Dan inilah perbedaan besar antara jemaat yang dikumpulkan dan murid yang dibentuk. Jemaat bisa datang dan pergi, tetapi murid bertahan bahkan ketika jalan menjadi sempit.

2. Pola Pemuridan Yesus: Melalui Kehidupan, Bukan Hanya Pengajaran

               Pemuridan Yesus bukanlah sistem kelas saja, melainkan proses hidup bersama. Ia berjalan bersama murid-murid-Nya, makan bersama mereka, tertawa bersama mereka, bahkan menegur mereka dengan kasih ketika mereka salah. Yesus tidak hanya memberikan teori, Ia menunjukkan kehidupan. Ia tidak hanya memberi nilai, tetapi mentransfer roh dan gaya hidup Kerajaan. Karena itu, Yesus tidak banyak mengajar di sinagoge — Ia lebih banyak mengajar di jalan, di perahu, di ladang, dan di rumah.

Ia memuridkan melalui situasi nyata, agar setiap pengalaman menjadi pelajaran rohani. Salah satu contoh paling indah adalah ketika murid-murid mengusir anak-anak kecil yang hendak datang kepada-Nya. Mereka berpikir Yesus terlalu mulia untuk diganggu anak-anak, tetapi Yesus membalikkan paradigma mereka:

“Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” Markus 10:14–15

Lewat momen sederhana itu, Yesus menanamkan nilai penting: Kerendahan hati, kemurnian, dan ketulusan seperti anak kecil adalah kunci untuk masuk dalam Kerajaan Allah. Itulah pola pemuridan Yesus , membentuk karakter, bukan hanya menambah pengetahuan. Ia tidak sedang mencetak teolog yang pandai berbicara, tetapi murid yang mengenal hati Bapa.

3. Pemuridan Adalah Keputusan Sadar untuk Mengikut Yesus

Yesus tidak memaksa siapa pun untuk menjadi murid-Nya. Setiap murid datang dengan kesadaran penuh, memilih untuk meninggalkan kenyamanan mereka demi mengikut Sang Guru.

“Mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikut Dia.” Matius 4:20

Menjadi murid berarti berani kehilangan, demi mendapatkan yang kekal.
Namun di zaman modern, banyak orang menolak proses pemuridan karena tidak mau tunduk pada otoritas rohani. Banyak berkata, “Saya ikut Yesus, bukan ikut manusia.”
Padahal Alkitab mengajarkan prinsip yang jelas:

“Jika seorang tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, maka tidak mungkin ia mengasihi Allah yang tidak dilihatnya.” 1 Yohanes 4:20

Tuhan memang yang kita ikuti, tetapi Ia sering memakai pemimpin rohani untuk membimbing dan menajamkan kita. Pemimpin bukan pengganti Kristus, tetapi saluran pembentukan. Tanpa bimbingan, banyak orang berakhir menjadi “murid tanpa arah” — hidup tanpa disiplin rohani dan tanpa proses pertumbuhan. Namun bagi para pemimpin, ini juga menjadi tanggung jawab besar. Yesus memberi peringatan keras:

“Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Matius 18:6

Artinya, menjadi pemimpin dalam pemuridan bukan posisi kehormatan, melainkan tanggung jawab surgawi. Pemimpin tidak dipanggil untuk mencetak murid yang mirip dirinya, tetapi yang serupa dengan Kristus.

“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.” Roma 8:29

              Sayangnya, hari-hari ini tidak sedikit pemimpin rohani yang tanpa sadar merasa bangga ketika melihat anak-anak rohaninya menjadi “salinan dirinya” — cara mereka berkhotbah mirip, cara melayani serupa, bahkan gaya berbicara dan sikapnya pun sama. Saya pun pernah ada di posisi itu. Dalam hati kecil saya dulu, saya merasa senang ketika melihat hasil pemuridan tampak seperti diri saya.
Namun semakin saya berjalan bersama Kristus, semakin saya sadar — di situlah lubang berbahaya dari pemuridan bisa muncul, baik bagi pemimpin rohani maupun bagi orang-orang yang dimuridkannya. Pemuridan sejati tidak pernah dimaksudkan untuk menghasilkan replika manusia, tetapi membentuk gambar Kristus di dalam manusia. Rasul Paulus memang pernah berkata " Ikutlah teladan ku , seperti aku mengikuti Kristus "  lihat statement akhirnya adalah kristus itu sendiri. 

    Kiranya melalui tulisan-tulisan ini, kita semua kembali kepada pemuridan yang sejati — bukan sekadar mencetak pengikut atau pelayan, tetapi melahirkan murid-murid Kerajaan Allah yang hidupnya mencerminkan Kristus di manapun mereka ditempatkan.


BHS


Selasa, 07 Oktober 2025

On Target - Pemuridan !

                 

                 Alkitab berkata, “Aku bukan petinju yang sembarangan meninju, dan bukan pelari yang tanpa tujuan” (1 Korintus 9:26). Dalam bahasa aslinya, Paulus menggunakan kata “adēlōs” yang berarti “tidak dengan arah yang tidak pasti.” Artinya, setiap langkah, pukulan, dan perjalanan hidupnya punya sasaran yang jelas. Ia tahu mengapa ia berlari, kepada siapa ia berlari, dan untuk apa ia berjuang. Hidupnya tidak dihabiskan untuk hal-hal yang sia-sia, tapi terarah dan fokus pada tujuan surgawi — untuk memenangkan panggilan dan menyelesaikan amanat Kristus.

                 

 Pagi ini saya merenung tentang arti kata “pemuridan.” Apakah kita benar-benar dimuridkan dan memuridkan orang lain? Banyak orang memakai istilah “pemuridan,” tetapi kehilangan esensinya. Pemuridan sejati bukan hanya sekadar pertemuan mingguan atau program gereja. Pemuridan adalah proses ilahi di mana seseorang dibentuk untuk menjadi serupa dengan gambaran Kristus — dalam karakter, cara berpikir, dan cara hidup. Tujuannya bukan sekadar tahu Firman, tapi hidup di dalam Firman. 

Generasi ini perlu belajar membedakan antara meeting dan pemuridan. Banyak orang berpikir ketika mereka ikut rapat pelayanan, berarti mereka sedang dimuridkan. Padahal, rapat atau pertemuan untuk mempersiapkan ibadah /komunitas hanyalah bagian kecil dari proses pemuridan , bukan tujuan dari pemuridan itu sendiri. Meeting berbicara tentang koordinasi pelayanan, tetapi pemuridan berbicara tentang pembentukan hidup. Dalam pemuridan sejati, ada hubungan yang terjalin, bukan sekadar agenda yang dijalankan. Di sana ada nilai-nilai Firman yang di impartasikan, ada perkataaan firman yang dibagikan, ada ruang untuk saling mendoakan, saling meneguhkan, dan saling bertumbuh dalam kasih. Pemuridan adalah perjalanan bersama, bukan sekadar pertemuan rutin. Di dalamnya ada kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan untuk dibentuk. Ada waktu untuk berbagi kesaksian tentang bagaimana Tuhan bekerja dalam hidup kita, bagaimana kita jatuh dan bangkit kembali, dan bagaimana Roh Kudus menuntun setiap langkah.

              Pemuridan sejati seharusnya mengalir secara alami, dipimpin oleh Roh Kudus, bukan sekadar dijadwalkan secara administratif. Roh Kuduslah yang menghubungkan hati antara satu dengan yang lain , membangun ikatan rohani yang menumbuhkan karakter Kristus dalam diri setiap orang. Itulah sebabnya, pemuridan bukan sekadar metode, tapi sebuah kehidupan yang terus dibentuk agar semakin serupa dengan Kristus. Oleh sebab itu, mari kembali on target. Jangan berhenti di kegiatan, tapi masuklah dalam proses pembentukan. Kembalilah untuk dimuridkan dan memuridkan, sampai rupa Kristus benar-benar terpancar dalam kehidupan kita. Sebab inilah tujuan akhir dari setiap langkah iman kita — bukan sekadar aktif dalam pelayanan, tetapi diubahkan menjadi seperti Dia.


NB: contoh pemuridan ini hanya salah satu hal tentang on target , masih banyak yg kita harus review ulang dan mengembalikan kemaksimalan yang kita lakukan sesuai dengan kebenaran Firman. 


BHS 

Rabu, 01 Oktober 2025

Preparation

             Ketika nabi Samuel datang ke rumah Isai untuk mengurapi seorang raja bagi Israel, ia tidak tahu siapa yang Tuhan maksud. Samuel melihat kakak-kakak Daud yang gagah, tinggi besar, dan penuh wibawa. Dari pandangan manusia, mereka kelihatan lebih cocok menjadi raja. Bahkan Samuel sendiri berpikir, “Pasti ini orangnya.” Tetapi Tuhan menegurnya dengan sebuah kebenaran penting: manusia hanya bisa menilai dari apa yang tampak di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.

“Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
(1 Samuel 16:7)

Dan ternyata, orang yang dipilih Tuhan itu bukan yang paling kuat atau yang paling tampak berwibawa, melainkan Daud—seorang anak muda yang masih belia, sederhana, dan pekerjaannya hanya menggembalakan beberapa ekor domba di padang. Dari kacamata manusia, Daud sama sekali tidak layak untuk menjadi seorang raja. Ia bukan tentara, bukan orang terkenal, bukan pemimpin perang, bahkan mungkin dianggap sebelah mata oleh keluarganya sendiri. Tetapi justru Daudlah yang dipilih Tuhan.

Mengapa? Bukan semata-mata karena ia ditunjuk, tetapi karena Daud adalah orang yang menyiapkan dirinya. Pilihan Tuhan dan persiapan pribadi berjalan bersama-sama. Tuhan memang sudah menetapkan Daud sejak awal, tetapi Daud tidak pasif menunggu. Ia membangun hidupnya di padang, dalam kesetiaan yang sederhana.

Di padang rumput yang sepi, saat menjaga domba-domba ayahnya, Daud belajar hal-hal penting yang membentuk karakternya. Ia belajar setia dalam hal kecil. Ia menjaga kawanan yang tidak seberapa itu dengan penuh tanggung jawab. Ketika ada singa atau beruang yang mencoba memangsa seekor domba, Daud tidak lari, tetapi berani melawannya. Orang lain mungkin menganggap itu pekerjaan kecil yang tidak berarti, tetapi Tuhan melihat hati Daud yang setia, berani, dan rela berkorban.

“Tetapi Daud berkata kepada Saul: ‘Hambamu ini biasa mengembalakan kambing domba ayahnya. Apabila datang singa atau beruang yang menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, menghajarnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya…’”
(1 Samuel 17:34–36)

Inilah yang membuat Daud berbeda dari ribuan anak muda seusianya di Israel. Mungkin ada banyak yang lebih pintar, lebih kuat, atau lebih terlatih daripada Daud. Tetapi hanya Daud yang siap menerima “jubah” pengurapan sebagai raja, sebab ia sudah menyiapkan dirinya di hadapan Tuhan. Rahasia ini ditegaskan oleh perkataan Yesus sendiri:

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.”
(Lukas 16:10)

Artinya, kesetiaan di tempat tersembunyi, di hal-hal kecil, akan membuka jalan bagi kita menerima perkara besar dari Tuhan. Daud mungkin tidak sadar bahwa latihan sehari-hari di padang itu sedang mempersiapkan dirinya untuk sesuatu yang jauh lebih besar. Ternyata keberanian menghadapi singa dan beruang menjadi dasar iman ketika ia menghadapi Goliat. Kesetiaan menjaga domba-domba kecil menjadi dasar untuk kelak ia menggembalakan bangsa Israel.

Ketika waktunya tiba, Tuhan sendiri yang meninggikan Daud. Ia tidak perlu mencari-cari kesempatan atau mempromosikan dirinya, karena peninggian datang dari Tuhan.

“Sebab bukan dari timur atau dari barat dan bukan dari padang gurun datangnya peninggian; tetapi Allah adalah Hakim: direndahkan-Nya yang satu dan ditinggikan-Nya yang lain.”
(Mazmur 75:7–8)

              Pelajarannya bagi kita jelas: pengurapan, panggilan, dan kesempatan dari Tuhan tidak datang tiba-tiba tanpa persiapan. Tuhan bisa saja memilih siapa pun, tetapi orang yang siaplah yang akan menerima dan berjalan dalam pengurapan itu. Kalau kita tidak melatih diri, tidak membangun karakter, tidak setia dalam hal-hal kecil, maka saat waktunya tiba kita tidak akan siap. Akibatnya, pengurapan itu bisa tertunda, atau bahkan tidak maksimal dalam hidup kita.

              Karena itu, jangan menunda persiapan pribadi. Jangan berpikir bahwa kita bisa tiba-tiba dipakai Tuhan dalam perkara besar tanpa ada kesetiaan dalam hal-hal kecil sehari-hari. Tuhan menaruh perhatian pada apa yang kita lakukan ketika tidak ada seorang pun yang melihat. Latihlah dirimu untuk setia dalam doa, dalam Firman, dalam ibadah, dalam integritas, dan dalam tanggung jawab sehari-hari. Itulah bentuk nyata dari mempersiapkan diri. Jangan remehkan masa persiapan. Jangan abaikan latihan rohani yang kelihatan kecil dan sederhana. Paulus berkata " Latihlah dirimu beribadah "  Karena ketika saat Tuhan tiba, Dia sendiri yang akan menaruh jubah-Nya atas hidupmu, dan engkau akan siap melangkah ke dalam panggilan yang besar itu.


BHS