Minggu, 30 November 2025

Siapakah Pemenangnya ? Roh atau Daging ?

            Dalam hidup kita setiap hari, selalu ada pertempuran yang terus berlangsung antara manusia daging dan manusia roh. Pertempuran ini tidak pernah berhenti, dan kemenangan selalu ditentukan oleh siapa yang terus kita beri makan. Ketika kita lebih banyak memberi makan keinginan daging melalui pikiran duniawi, hawa nafsu, kemarahan, iri hati, atau kebiasaan yang menjauhkan kita dari Tuhan maka daging akan semakin kuat dan menguasai keputusan-keputusan hidup kita. Tetapi ketika kita memberi makan manusia roh melalui firman, doa, penyembahan, dan hidup yang taat, maka roh kita akan menjadi lebih kuat, dan kita akan dipimpin untuk berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan.

Yesus berkata, “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna” Yohanes 6:63.

 Paulus juga menegaskan bahwa “keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh” Galatia 5:17.

Karena itu, setiap hari kita dihadapkan pada pilihan sederhana namun menentukan: apakah kita sedang menguatkan daging, atau membangun manusia roh?

ada ayat firman yang hari-hari ini saya sedang renungkan.  “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; ia tidak dapat memahaminya, sebab semuanya itu hanya dapat dinilai secara rohani.” (1 Korintus 2:14, AMP).

Bagi orang yang hidup dalam daging, mengikuti pimpinan Roh terlihat tidak masuk akal , seolah kebodohan. Tetapi bagi orang yang mengerti perkara-perkara Roh, di sanalah terletak kemenangan kita. Sebab sering kali apa yang Roh pimpin justru tampak bertolak belakang dengan logika daging. Abraham. Secara manusia, sangat tidak masuk akal ketika Tuhan meminta dia mempersembahkan Ishakanak tunggal yang dijanjikan Tuhan pada masa tuanya. Secara daging, itu adalah paradoks. Tetapi Abraham mengenal suara Roh, dan ia memilih taat. Ketaatan itu membuka jalan bagi penggenapan janji dan kemenangan rohani yang jauh lebih besar dari apa yang ia lihat secara jasmani.

Demikian pula hidup kita hari ini. Untuk berjalan dalam kemenangan, kita perlu bertumbuh menjadi semakin dewasa secara rohani, peka terhadap suara-Nya, dan berani mengambil keputusan bukan dari kacamata daging, tetapi dari pimpinan Roh. Sebab di setiap keputusan besar maupun kecil arah hidup kita sedang ditentukan: apakah kita hidup dalam kekalahan daging, atau dalam kemenangan Roh. Dan ingatlah pertempuran ini terjadi setiap hari dan setiap waktu , teruslah berjuang sampai kemenangan yang sejati itu benar-benar kita rasakan. 



BHS

Jumat, 28 November 2025

Tau Detail

   Ketika saya membaca silsilah di Alkitab, khususnya Matius 1:1–17, kita melihat daftar nama dari Abraham sampai kepada kelahiran Yesus Kristus. Sepintas terlihat biasa saja, tetapi ada satu detail yang begitu kuat: Matius 1:6. Di sana tertulis, “Isai memperanakkan Daud, dan Daud memperanakkan Salomo dari istri Uria.”

Roh Kudus sengaja menuliskan istri Uria, bukan istri Daud. Mengapa? Karena Allah kita adalah Allah yang adil. Di mata manusia, Uria mungkin sudah dilupakan—ia sudah mati, tersingkir, dan terbuang dalam rencana yang tidak adil. Tetapi di mata Tuhan, tidak ada sejarah yang hilang. Tidak ada ketidakadilan yang dibiarkan. Tidak ada darah orang benar yang diabaikan. Allah mengabadikan namanya di dalam silsilah Mesias sebagai tanda: Tuhan tidak pernah melupakan sejarah.

Namun lebih dari itu—Tuhan tidak memakai masa lalu untuk menjatuhkan Daud, tetapi untuk menajamkannya. Luka masa lalu tidak dibuat untuk mempermalukan kita; Tuhan menggunakannya untuk membentuk kita. Kesalahan Daud dicatat bukan untuk merendahkan, tetapi untuk menyatakan kasih karunia yang lebih besar. Allah memakai masa lalu sebagai alat pendidikan, bukan alat penghukuman.

Dari sini saya belajar bahwa Allah adalah Allah yang sangat detail. Banyak hal yang bagi manusia terlihat kecil, sepele, atau tidak penting tetapi bagi Tuhan, detail itu bermakna. Dia memperhatikannya, Dia mengoreksinya, dan Dia memulihkannya. Dan sering kali, detail masa lalu justru menjadi alat Tuhan untuk membentuk masa depan seseorang.

Firman berkata dalam Lukas 16:10, “Barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia akan setia juga dalam perkara besar.” Kesetiaan dalam hal kecil adalah ibadah yang tersembunyi , tempat Tuhan menajamkan hati kita, membentuk karakter kita, dan mempersiapkan kita untuk perkara besar.

Sebagai guru piano, saya sering melihat bukti prinsip ini. Banyak orang ingin bisa bermain piano untuk pelayanan. Mereka sangat antusias ketika membahas lagu. Mereka ingin cepat mahir. Tetapi ketika masuk ke latihan skill , latihan dasar, teknik, pengulangan , antusiasme mereka menurun. Padahal skill itu seperti latihan kungfu: harus diulang, harus dilatih setiap hari. Justru dalam latihan-latihan kecil itulah karakter seorang pemain dibentuk. Demikian juga dalam hidup rohani kita. Detail kecil yang tidak terlihat sering kali menjadi tempat Tuhan bekerja paling kuat. Hal-hal yang kita anggap remeh, justru Tuhan perhatikan dan perhitungkan. Masa lalu yang kita pikir sudah selesai, justru Tuhan pakai untuk membentuk masa depan yang lebih tajam.

Mulai hari ini, mari kita belajar menghormati Tuhan dengan memperhatikan hal-hal kecil detail yang sering tidak dilihat orang, tetapi dilihat oleh Tuhan. Sebab Allah kita tidak pernah melupakan sejarah, dan Dia sanggup memakai masa lalu untuk mempersiapkan masa depan yang lebih murni dan kuat.

Yesus Tuhan



BHS 

Kamis, 27 November 2025

Apakah Terpengaruh ?

                       Sebagai orang percaya, kita tidak pernah dipanggil untuk hidup eksklusif—terpisah dari dunia atau hanya bergaul dengan kelompok sendiri. Yesus memanggil kita untuk menjadi garam dan terang, hadir di tengah orang-orang yang belum mengenal kebenaran. Namun fakta di lapangan sering berkata lain: semakin lama seseorang ikut Tuhan, lingkaran pergaulannya makin mengerucut, semakin kecil, dan hanya itu-itu saja. Jika tidak berhati-hati, pola ini bisa menjadi jebakan rohani, karena justru gelaplah yang membutuhkan terang. Dunia tidak akan pernah berubah jika terang hanya berkumpul dengan terang.


Daniel 1:8 mencatat bahwa “Daniel berketetapan hati”. Dalam bahasa aslinya dipakai kata: שׂוּם לֵב (sum lev) — menetapkan hati dengan kokoh, sebuah keputusan batin yang tidak bisa digoyahkan. Ini bukan sekadar niat, tetapi komitmen rohani yang mengikat seluruh hidup seseorang kepada kebenaran Tuhan.

Tetapi untuk kembali hadir di tengah dunia tanpa kehilangan arah, kita membutuhkan fondasi seperti Daniel: ketetapan hati. Ketetapan hati bukan hanya keputusan untuk tidak menajiskan diri, tetapi juga ketetapan hati untuk terus mencari Tuhan, mencari wajah-Nya setiap hari. Orang yang berketetapan hati hidup dengan orientasi yang jelas: hatinya tertuju kepada Tuhan. Karena ia terus mencari Tuhan, ia tidak mudah dipengaruhi oleh apa pun yang datang dari luar. Tekanan tidak menggoyahkannya, opini dunia tidak menyesatkannya, dan godaan tidak menariknya keluar dari jalur.

Orang yang berketetapan hati bukanlah orang yang dibentuk oleh dunia; justru ia yang mempengaruhi dunia. Dari dalam dirinya mengalir sesuatu yang lebih kuat daripada apa pun yang mencoba masuk. Seperti kata Yesus: “Dari dalamnya akan mengalir aliran air hidup” (Yohanes 7:38). Orang yang hatinya menetap pada Tuhan membawa kehidupan, terang, dan atmosfer Kerajaan Allah ke setiap tempat ia melangkah.

Semua ini dimulai dari pilihan seperti Daniel , pilihan untuk berpegang pada firman, pada kebenaran, dan pada Tuhan tanpa kompromi. Ketetapan hati itulah yang menjaga kita di tengah budaya yang tidak mengenal Tuhan. Ketetapan hati itulah yang membuat kita tetap berdiri ketika tekanan datang. Ketetapan hati itulah yang memperlengkapi kita untuk menjadi garam dan terang yang sejati. jadi bagaimana dengan kita , apakah kita terpengaruh ? atau mempengaruhi ? semua dimulai dari ketetapan hati untuk terus tertuju kepadaNya !



BHS

Rabu, 26 November 2025

Habitat Manusia Rohani

          Kisah Para Rasul 17:28 berkata, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada.” Sama seperti ikan yang hanya bisa hidup maksimal ketika ada di air, dan burung yang hanya bisa terbang bebas ketika ada di udara, begitu juga kita , ada habitat yang Tuhan tentukan supaya hidup kita tidak hanya bertahan, tetapi bertumbuh dan berbuah. Ikan boleh dibawa keluar dari air, mungkin masih bisa menggeliat sebentar, tapi cepat atau lambat dia akan mati. Burung boleh diletakkan di tanah, tapi dia tidak akan pernah mencapai potensi terbesarnya sampai dia kembali ke udara. Dan kita pun sama. Tempat jasmani kita memang di dunia, tetapi kehidupan roh kita hanya bisa hidup, bernapas, dan bertumbuh di dalam Roh Kudus.

Yesus berkata dalam Yohanes 7:38–39 bahwa dari dalam orang percaya akan mengalir “aliran-aliran air hidup,” dan itu berbicara tentang Roh Kudus. Artinya, roh kita tidak diciptakan untuk hidup kering, hampa, atau mengandalkan kekuatan sendiri , roh kita diciptakan untuk terus terhubung, terus disegarkan, terus dipenuhi oleh Dia. Kita bisa saja tetap hidup secara jasmani tanpa Roh Kudus—bangun pagi, kerja, makan, tidur ,tetapi kehidupan rohani kita tidak akan pernah benar-benar hidup tanpa hadirat dan aliran Roh itu. Secara manusia, kita bisa bertahan. Tapi secara roh, kita akan layu.

Itulah sebabnya kita disebut sebagai orang yang in the world but not of the world. Kita hidup di dunia, kita bekerja di dunia, kita melayani di dunia, tetapi sumber kehidupan kita bukan berasal dari dunia ini. Sumber kita adalah Roh Kudus. Dunia bisa memberi tekanan, sistem bisa berubah, keadaan bisa naik turun tetapi habitat kita, tempat kita bernafas dan pulih, tetap sama: hadirat dan kuasa Roh Kudus. Ketika kita tidak hidup dalam habitat itu, kita mulai mudah lelah, mudah kosong, mudah terpengaruh, mudah goyah. Tapi ketika kita kembali ke “air” kita, hadirat Roh Kudus hidup mulai mengalir lagi. Damai kembali. Sukacita kembali. Kepekaan rohani kembali. Api pelayanan kembali. Kita menemukan diri kita berfungsi seperti seharusnya, karena kita kembali ke tempat kita diciptakan untuk hidup.


Seperti ikan tidak bisa bertahan tanpa air, dan burung tidak bisa terbang tanpa udara Manusia Rohani kita tidak bisa hidup sebagai anak-anak Kerajaan tanpa Roh Kudus. Roh Kudus bukan aksesori rohani atau tambahan opsional. Dia adalah habitat kita. Tempat hidup kita. Tempat kita bernafas. Tempat kita bertumbuh. Tempat kita dipenuhi untuk menjalani panggilan kita di dunia ini, tanpa menjadi bagian dari dunia ini. Jadi hari ini, kembali ke habitatmu. Masuk lagi ke hadirat Roh Kudus. Biarkan aliran air hidup itu memenuhi, menyegarkan, dan menghidupkanmu kembali. Because only in Him, you live, you move, and you have your being.



BHS 

Selasa, 25 November 2025

Gunung Batu !

 Shalom, semalam saya berdoa bersama beberapa teman dari marketplace, dan Tuhan memberikan sebuah pesan yang begitu kuat tentang Gunung Batu dari Mazmur 18:2–3.

 Mazmur 18:2–3.Ia berkata: "Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku! , Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku! "

 Pada zaman dahulu, gunung batu merupakan satu-satunya tempat perlindungan di tengah padang gurun yang luas dan tak berujung. Bayangkan betapa menegangkannya hidup di padang gurun yang gersang , tanpa pepohonan untuk berlindung, tanpa tempat untuk bersembunyi dari musuh, dan tanpa jaminan keselamatan. Di tengah kondisi seperti itu, gunung batu adalah satu-satunya tempat yang memberikan keamanan, tempat orang bisa bertahan dari bahaya, bahkan tempat yang menyediakan rembesan air di sela-sela batu untuk menyegarkan kembali jiwa dan tubuh.

Daud sangat memahami konteks ini. Itu sebabnya ia menyatakan bahwa Allah adalah Gunung Batunya. Bagi Daud, gunung batu bukan hanya gambaran geologis, tetapi simbol perlindungan ilahi yang tidak tergoyahkan. Di sanalah ia berteduh ketika dikejar musuh, di sanalah ia berseru ketika kehidupannya terancam, dan di sanalah ia menemukan pertolongan ketika tidak ada harapan dari manusia. Begitu juga dalam kehidupan kita. Meskipun hidup kita sering terasa seperti padang gurun—kering, tidak menentu, tanpa jaminan, seakan tidak ada yang mendukung—namun Tuhanlah Gunung Batu kita. Dialah tempat perlindungan yang kokoh, yang tidak pernah berubah, dan yang selalu bisa kita datangi kapan saja.

Ada sebuah ilustrasi yang sangat menyentuh hati saya. Suatu kali, seorang ayah melakukan atraksi menyeberangi Niagara Falls di atas seutas tali. Ia berjalan dari satu sisi ke sisi lainnya, dan para penonton bersorak kagum melihat keberaniannya. Pada atraksi terakhir, ia melakukan sesuatu yang jauh lebih berani: ia menggendong anaknya sambil berjalan di atas tali itu. Banyak orang menahan napas, bahkan berteriak ketakutan, karena mereka tahu bahwa satu langkah yang salah bisa berarti kematian. Namun yang mengejutkan, anak itu tetap tenang sepanjang perjalanan. Tanpa kepanikan, tanpa ketakutan, ia bersandar penuh pada ayahnya. Ketika mereka sampai ke sisi seberang dan semua orang bertepuk tangan, seseorang bertanya kepada anak itu, “Bagaimana kamu bisa setenang itu? Mengapa kamu tidak takut? Apa yang membuat kamu begitu yakin tidak akan jatuh?”

Dengan sederhana anak itu menjawab, “Karena aku tahu siapa ayahku. Aku mengenal dia, aku tahu kemampuannya. Ia sudah melakukan ini sepanjang hidupnya dan tidak pernah gagal.” Jawaban itu begitu mengena. Anak itu tidak percaya kepada tali, tidak percaya kepada kemampuan dirinya sendiri, tetapi ia percaya kepada ayahnya yang menggendongnya.

Belajar dari anak ini, mari datang dan percaya sepenuhnya kepada Bapa kita di surga. Dia tidak pernah gagal. Dia tidak pernah keliru melangkah. Dia tidak pernah membiarkan kita jatuh tanpa pertolongan. Dalam situasi hidup yang terasa seperti padang gurun sekalipun , kering, tidak pasti, dan penuh ancaman, Tuhan tetap menjadi Gunung Batu kita. Dialah tempat paling aman di mana kita boleh bersandar dengan tenang, karena Dia setia, Dia kuat, dan Dia tidak pernah mengecewakan.

-- 

NB : Dikesempatan ini saya mengajak semua yang membaca Kingdom Devotion pagi ini untuk kita berdoa , berdoa untuk  keluarga Sumatra utara terutama daerah sibolga yang sedang mengalami bencana alam. biarlah Tuhan Yesus sendiri yang menjadi tempat perlindungan dan kubu pertahanan untuk keluarga yang ada disana. amen 

BHS

Senin, 24 November 2025

10 Menit yang Mengubahkan

          Hari ini kita akan merenungkan apa yansg tertulis di Yohanes 4 , sebuah percakapan Yesus dengan seorang samaria yang mungkin hanya 10 menit , namun mengubahkan kehidupan ! Perempuan Samaria adalah sosok yang hancur secara moral dan terbuang secara sosial memiliki lima suami dan hidup dengan pria yang bukan suaminya. Namun dalam beberapa menit percakapan dengan Yesus, terjadi perubahan yang sangat signifikan. Dari seseorang yang disembunyikan masyarakat menjadi seorang yang membangkitkan satu kota. Perubahan ini bukan hasil pengajaran panjang, melainkan karena satu hal: pengenalannya akan Yesus bertambah.


Awalnya ia melihat Yesus sebagai orang asing (Yoh 4:9). Ketika percakapan berlanjut, ia mulai menyebut-Nya Tuan (Yoh 4:11). Saat Yesus menyingkapkan bagian terdalam hidupnya, ia berkata, “Aku lihat Engkau seorang Nabi” (Yoh 4:19). Dan ketika hatinya mulai terbuka, ia akhirnya mengenal Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang dinantikan (Yoh 4:25–26). Dalam waktu singkat, pengenalannya naik dari level ke level, dan setiap kenaikan membawa perubahan dalam dirinya. yang membuat pengenalan wanita ini bertambah , adalah ketika Yesus dan wanita ini berbincang-bincang. setiap perkataan Yesus itulah yang membuat wanita ini dibawa semakin lebih dalam.  Yang saya renungkan pagi ini adalah bahwa perkataan Yesus bukan sekadar kata-kata biasa. Alkitab menulis bahwa Ia adalah Firman itu sendiri

Yoh 1:1 - Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. 

Karena itu setiap perkataan yang keluar dari mulut-Nya membawa otoritas, kuasa, dan kehidupan. Firman itu menembus hati perempuan Samaria, menghancurkan kebohongan, membuka mata rohani, memulihkan identitasnya, dan menyalakan misinya. Perubahan yang terjadi di dalamnya begitu nyata sehingga satu kota bisa melihat bukti pekerjaan Firman.

Kita pun akan mengalami hal yang sama ketika pengenalan kita akan Tuhan terus bertambah. Semakin kita mengenal Dia melalui perkataan-Nya, semakin hidup kita dibentuk, disentuh, dan diubahkan. Firman-Nya bekerja bukan hanya di dalam hati kita, tetapi juga menggeser keadaan di sekitar kita. Ketika Firman masuk, sesuatu pasti berubah , karena tidak ada bagian dari hidup manusia yang tetap sama setelah disentuh oleh Firman Allah.

mari kita menjadi wanita samaria ini yang terus menerus mengalami pengenalan yang bertambah karena perkataan Firman. dan untuk para leader dan bapa-bapa rohani,  ini adalah  panggilan untuk menemukan orang-orang seperti wanita samaria ini , yang adalah orang asing , terbuang , tersingkirkan namun diubah oleh perkataan firman , dan akhirnya membawa perubahan untuk kota syikar / Samaria ! Revival start from the Word !


BHS

Minggu, 23 November 2025

Alat bukan Idol

              Jemaat Korintus pernah memandang Paulus dan Apolos dari sudut yang salah. Padahal, sejak awal Paulus sudah menegaskan bahwa dirinya dan Apolos hanyalah alat yang Tuhan pakai dalam proses pertumbuhan rohani jemaat. 

“Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Tuhanlah yang memberi pertumbuhan.” 1 korintus 3:6


 Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan bekerja melalui orang-orang yang Ia utus. Ada yang dipakai sebagai penanam benih firman, memperkenalkan Injil, mengajarkan dasar-dasar iman. Ada pula yang dipakai sebagai penyiram, memperkuat, menuntun, dan membentuk pertumbuhan iman dari hari ke hari. Mereka hadir sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Tanpa penanam benih, iman tidak dimulai. Tanpa penyiram, iman bisa layu. Tetapi tanpa Tuhan, benih itu tidak akan pernah hidup. Dari sinilah kita belajar bahwa Tuhan memang memakai manusia. Dalam perjalanan rohani kita pun, Tuhan mengirim “Paulus” dan “Apolos”—orang-orang yang menjadi alat-Nya. Mungkin itu seorang gembala, mentor, pengajar, sahabat rohani, atau seseorang yang diam-diam mendoakan kita. Mereka adalah bagian penting dari cara Tuhan menumbuhkan dan membentuk kita. Dan untuk mereka, kita patut bersyukur. Kita menghargai mereka karena mereka dipakai Tuhan.

Namun justru karena mereka hanyalah alat, Paulus dengan tegas menegur jemaat Korintus yang mulai menjadikan manusia sebagai pusat. Jemaat terpecah karena fanatisme: “Aku pengikut Paulus,” “Aku pengikut Apolos.” Mereka keliru menempatkan posisi, memandang alat sebagai sumber, dan menaruh manusia di tempat yang seharusnya hanya milik Tuhan. Inilah yang Paulus luruskan. Sebaik dan sehebat apa pun seorang hamba Tuhan, mereka bukan idol. Kebenaran ini sangat relevan dengan keadaan kekristenan hari ini. Banyak orang percaya tanpa sadar menjadikan orang sebagai “idol rohani.” Gaya berbicara mereka ditiru, setiap kata diikuti, bahkan orang itu dijadikan pusat perjalanan iman. Padahal Alkitab menegaskan bahwa kita adalah pengikut Kristus, bukan pengikut manusia. Kekaguman boleh, penghormatan perlu, tetapi memusatkan hidup rohani kepada seseorang selain Tuhan adalah bahaya yang dapat menggeser fokus kita dari Kristus.

              Karena itu, kita patut bersyukur atas kehadiran “Paulus” dan “Apolos” dalam hidup kita—hamba-hamba Tuhan yang dipakai untuk mengajar, menuntun, dan memperkaya perjalanan iman kita. Melalui mereka, Tuhan bekerja menanam dan menyiram benih rohani dalam diri kita. Namun sambil menghargai peran mereka, kita tetap menyadari bahwa karya utama ada di tangan Tuhan. Dialah yang menggerakkan, memelihara, dan menghasilkan pertumbuhan dalam hati kita. Dengan cara inilah kita menempatkan manusia dan Tuhan pada posisi yang tepat: menghormati pekerja-Nya, sekaligus memuliakan Dia sebagai satu-satunya Sumber pertumbuhan rohani.

Jumat, 21 November 2025

Apa Dasarnya ?

                     Iman adalah dasar; dalam bahasa Yunani kata “dasar” adalah hypostasis, fondasi yang kokoh, sesuatu yang membuat kita berdiri teguh. Karena itu, iman tidak pernah dibangun di atas kemampuan diri atau rasa percaya diri manusia, tetapi hanya di atas perkataan Tuhan. Dan inilah masalah yang sering terjadi: banyak orang tidak sadar bahwa mereka sedang membangun hidupnya di atas dasar yang salah yaitu percaya diri. Percaya diri memang tampak baik dan terdengar positif, tetapi itu tidak memiliki bobot kekekalan. Percaya diri lahir dari daging , dari pengalaman, emosi, kekuatan, dan logika manusia—yang semuanya bisa berubah sewaktu-waktu. Percaya diri bisa membuat seseorang tampak berani, tetapi tanpa fondasi ilahi. Ketika badai datang, dasar itu retak dan tidak mampu menopang apa pun.


"Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lih
at." Ibrani 11:1

Salah satu contoh paling jelas adalah Saul. Ketika Samuel tidak segera datang, Saul merasa dirinya cukup rohani untuk mengambil alih dan mempersembahkan korban sendiri. Ia melampaui batas yang Tuhan tetapkan, bukan karena iman, tetapi karena ketakutan dan percaya diri manusiawi. Ia merasa “Aku bisa lakukan ini,” tanpa menunggu apa yang Tuhan perintahkan melalui nabi-Nya. Tindakan yang terlihat logis dan rohani itu justru menunjukkan bahwa Saul berdiri di atas dasar yang salah—diri sendiri, bukan firman Tuhan. Dan keputusan itu mengakibatkan kerajaannya dipatahkan.

Dasar yang salah terlihat ketika seseorang berkata, “Aku yakin aku bisa,” tanpa mendengar apa pun dari Tuhan. Atau ketika seseorang maju melangkah bukan karena firman, tetapi karena ambisi, optimisme, dan keyakinan pribadi. Itu bukan iman itu hanya kepercayaan diri  yang dibungkus secara rohani. Dan firman Tuhan berkata, “Daging sama sekali tidak berguna.” Diri kita ini rapuh; kekuatan kita terbatas; kemampuan kita tidak dapat menopang perjalanan iman. Karena itu percaya diri adalah dasar yang rapuh, samar, dan tidak bisa menahan badai kehidupan.

Abraham tidak pernah melangkah dengan percaya diri. Ia tidak berangkat karena ia merasa mampu, atau karena ia yakin dirinya kuat. Ia melangkah karena Allah berfirman, dan firman itu menjadi fondasi yang mengokohkan setiap langkahnya. Ia berdiri di atas dasar ilahi yang berasal dari perkataan Tuhan. Itulah yang membedakan hidupnya. Dan bukan hanya Abraham. Seluruh tokoh dalam Ibrani 11, para pahlawan iman, adalah orang-orang yang hidup dengan mendasarkan seluruh perjalanan mereka kepada perkataan Allah. Mereka bukan luar biasa karena kemampuan diri; mereka bukan hebat karena kepribadian atau pengalaman. Mereka berbeda karena Allah yang besar bekerja di dalam mereka melalui iman. Mereka memilih menjadikan firman sebagai fondasi, bukan perasaan, bukan logika, bukan percaya diri. Itulah yang membuat hidup mereka melampaui manusia pada umumnya.

Satu contoh yang sangat jelas adalah Petrus. Ia tidak berjalan di atas air karena ia percaya diri atau merasa mampu. Ia melangkah hanya setelah Yesus berkata, “Datanglah.” Firman itu menjadi dasar langkahnya, dan selama ia berdiri di atas firman, ia berjalan di tengah badai. Tetapi ketika Petrus mengalihkan pandangannya dari Yesus kepada dirinya sendiri , ketakutannya, perasaannya, pikirannya, dasarnya bergeser dari firman ke daging, dan ia mulai tenggelam. Itulah gambar paling nyata dari hidup yang berdiri di atas dasar diri sendiri: ketika kita bersandar pada kekuatan manusia, iman mulai retak dan hidup mulai tenggelam.

Karena itu, hari ini biarlah Roh Kudus memurnikan fondasi hidup kita. Jangan bangun masa depanmu di atas percaya diri. Jangan berdiri di atas kemampuan daging. Jangan melangkah tanpa firman. Dasar kita adalah Kristus, kekuatan kita adalah perkataan-Nya, dan iman kita menjadi hidup ketika firman itu tinggal dan diaktifkan di dalam hati kita. Hanya firman yang menjadi dasar sejati . dasar yang tidak tergoncangkan, dasar yang memampukan kita berjalan di atas badai dunia ini tanpa tenggelam.



BHS

Kamis, 20 November 2025

Filter Rohani

  Shalom! Kemarin kita belajar bahwa iman hanya dapat “makan” satu jenis makanan: Firman Tuhan. Firmanlah yang menentukan apakah iman kita menjadi kuat atau lemah. Hari ini mari kita lanjutkan...


Seperti tubuh kita membutuhkan makanan yang masuk melalui mulut ,nasi, ayam, dan segala yang memberi tenaga, demikian juga iman kita makan melalui telinga. Roma 10:17 berkata, “Iman timbul dari pendengaran.” Telinga adalah alat dengar, tetapi lebih dari itu, telinga adalah pintu rohani. Apa pun yang lewat pintu ini akan turun ke hati, dan apa yang memenuhi hati akan membentuk iman kita. Iman tidak lahir dari sekadar berharap atau berusaha berpikir positif ,iman lahir dari apa yang kita dengar dan izinkan masuk setiap hari.

Salah satu target utama musuh adalah mematikan iman kita.
Iblis melontarkan banyak suara untuk menjatuhkan: kata-kata keraguan, ketakutan, tuduhan, perbandingan, kekecewaan melalui media, obrolan, lingkungan, bahkan orang yang tidak kita duga. Kita tidak selalu bisa mengendalikan suara apa saja yang datang kepada kita, sebab ada saja orang yang tiba-tiba berbicara sesuatu yang melukai atau melemahkan roh kita.

Tetapi kita bisa memilih satu hal: memasang filter rohani di telinga kita.
Kita harus menentukan, “Suara mana yang boleh masuk ke hati? Suara mana yang harus dibuang?” Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengar suara-Ku.” Domba itu spesifik mendengar suara gembalanya, bukan suara lain. Seperti itu pula kita: iman kita hanya akan bertumbuh jika telinga kita diarahkan kepada suara yang benar. Karena itu, apa yang masuk lewat telinga menentukan hidup atau matinya iman.

Ketika seseorang salah mendengar ,mengizinkan suara ketakutan, berita negatif, gosip, tuduhan, dan suara dunia iman perlahan pingsan. Hati menjadi berat, roh menjadi lemah, dan langkah menjadi ragu. Salah suara melahirkan salah arah; salah informasi melahirkan iman yang kerdil . Namun ketika telinga kita diarahkan kepada Firman Kristus, iman hidup kembali. Firman membawa nafas ilahi, membangun, menguatkan, dan menegakkan kembali jiwa kita. Apa yang telinga dengar, hati tampung. Apa yang hati tampung, iman bentuk. Sebab itu, telinga harus menjadi pintu yang paling dijaga dalam perjalanan rohani kita. Blessing 


BHS

Rabu, 19 November 2025

Makanan Iman

              Shalom, saudara yang dikasihi Tuhan. Hari-hari ini kita hidup di tengah dunia yang penuh ketidakpastian. Segalanya berubah begitu cepat—ekonomi bergoncang, kondisi sosial tidak stabil, moral dunia merosot, dan masa depan sering tampak seperti kabut tebal yang menutupi arah langkah banyak orang. Situasi ini membuat banyak hati melemah: pikiran dipenuhi kecemasan, perasaan diikat ketakutan, dan langkah hidup menjadi ragu-ragu.

Namun bagi orang percaya, Tuhan tidak pernah menempatkan kita untuk bersandar pada dunia yang tidak pasti. Mengikut Tuhan Yesus adalah kepastian yang kokoh, Ketika dunia memberikan ketidakpastian, Tuhan menawarkan kepastian melalui iman. Ia memanggil kita berjalan bukan dengan apa yang mata kita lihat, tetapi dengan iman yang lahir dari Firman-Nya. Dan iman yang Tuhan kehendaki bukan iman yang mati, bukan iman yang hanya menjadi teori, tetapi iman yang aktif—iman yang bergerak, merespons, dan taat kepada suara-Nya. Firman Tuhan berkata dalam 

Roma 10:17: “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” 

Ayat ini menunjukkan bahwa iman tidak muncul dengan sendirinya dalam hidup kita. Iman tidak otomatis bertumbuh hanya karena kita beragama, rajin ke gereja, atau aktif melayani. Iman harus dirawat, dijaga, dan diberi makanan yang benar setiap hari. Banyak orang percaya sebenarnya memiliki benih iman, tetapi iman itu menjadi lemah dan mudah tumbang karena tidak pernah diberi nutrisi rohani yang cukup. Seperti tubuh manusia tidak makan dari batu, besi, atau plastik bukan ?demikian juga iman tidak bisa hidup dari gosip, berita buruk, ketakutan, atau kata-kata motivasi yang tidak memiliki dasar rohani. Iman hanya punya satu makanan Firman Tuhan 


Firman adalah roti surgawi bagi roh kita; tanpa Firman, iman kehilangan kekuatan. Firman adalah nutrisi ilahi yang memperkuat fondasi hidup kita; tanpa Firman, iman mudah retak. Firman adalah bahan bakar yang membuat roh kita menyala; tanpa Firman, iman menjadi dingin dan pasif. Ketika Firman masuk, iman mulai bangkit. Ketika Firman tinggal, iman bertumbuh. Dan ketika Firman diterima dengan percaya dan ditaati, iman berubah menjadi sebuah kepastian ilahi di dalam hati.

dan bukankah alkitab berkata , iman sebesar biji sesawi dapat memindahkan gunung ? iman yang aktif bukan hanya mendapatkan kepastian tapi menhidupi kemenangan ! Blessing 


BHS

Selasa, 18 November 2025

Apa yang kamu minta ?

             Pagi ini, ada sebuah perenungan dan pewahyuan yang Tuhan berikan ketika saya sedang duduk di meja kerja. Dalam keheningan itu, Roh Kudus mulai berbicara melalui sesuatu yang saya dengar tentang peristiwa di Lukas 15 , kisah anak bungsu yang sebenarnya sudah begitu familiar. Kita sudah berkali-kali membaca dan mendengarnya dalam khotbah-khotbah di mimbar gereja. Bahkan saya sendiri sudah tidak terhitung berapa banyak kali saya membagikan firman dari bagian ini.

Namun pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang Tuhan buka lebih dalam, seakan sebuah lapisan baru dari firman itu terbuka dan menyala di dalam roh. Roh Kudus menyoroti satu detil yang selama ini saya lewati begitu saja, khususnya di 


Lukas 15:12 “Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka.”

Selama ini, kita memahami bahwa anak bungsu meminta harta. Tetapi ketika saya melihat bahasa aslinya, kata yang dipakai adalah ousia yang berarti property, kekayaan jasmani, uang, sesuatu yang bersifat material dan fana.Tetapi ketika ayahnya memberikan apa yang diminta, Alkitab menggunakan kata yang berbeda: bios yang berarti lifelihood, kehidupan, seluruh sumber keberadaannya.

Inilah yang membuat saya berhenti sejenak. Ada perbedaan besar antara property dan life. Antara sesuatu yang bisa habis, dan sesuatu yang merupakan inti kehidupan.

Anak bungsu hanya meminta sesuatu yang fana—sesuatu yang bisa hilang, habis, bahkan dicuri.
Tapi sang Bapa memberikan lebih daripada itu: Ia memberikan seluruh kehidupannya. Dan ketika wahyu itu menyentuh hati saya, saya merasa seperti Tuhan sedang menegur saya secara pribadi: Betapa sering manusia hanya mengejar berkat, tetapi tidak mengejar Pribadi yang memberi berkat. Betapa banyak orang ingin menerima ousia—hal-hal jasmani—tetapi tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya punya akses kepada bios, yaitu hubungan, keintiman, dan kehidupan bersama Bapa.

Anak bungsu mendapat apa yang ia minta, tetapi ia tidak mengerti apa yang sudah ia miliki.
Ia mengejar sesuatu yang fana, padahal yang kekal ada di hadapannya: Bapanya sendiri. Bapa disini memiliki bahasa asli source yang adalah " Sumber " , jadi sebenarnya mendapatkan Bapa adalah mendapatkan segala-galanya. 

mengertilah bahwa Bapa adalah Bapa yang sangat baik dalam hidup kita. jadi apa yang kamu minta ? . Blessing 


BHS

Senin, 17 November 2025

Benih Fana Vs Benih Ilahi

                 Ketika kita menerima Kristus, sesuatu yang radikal terjadi di dalam roh kita: kita dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, yaitu Firman Allah yang hidup dan yang kekal 

1Petrus 1:23-25 Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal. Sebab: "Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur,  tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya."

Paulus menyebutnya ciptaan baru ,sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya, lahir dari sumber yang ilahi, bukan manusia 2 Korintus 5:17. Artinya, identitas rohani kita tidak lagi bersandar pada kelemahan daging, kegagalan masa lalu, atau keturunan manusia yang fana, tetapi pada benih surgawi yang Allah sendiri tanamkan di dalam kita.

Benih manusia bersifat rapuh, mudah layu, dibatasi oleh dosa dan kematian. Tetapi benih Firman itu kekal, membawa sifat, kuasa, dan kehidupan Allah sendiri. Di dalam benih itu terkandung potensi perubahan, kapasitas untuk tumbuh, dan kemampuan untuk menghasilkan buah yang tidak dapat dihasilkan oleh usaha manusia. Apa pun yang lahir dari daging akan kembali menjadi daging, tetapi apa yang lahir dari Roh akan menghasilkan kehidupan yang berasal dari Allah.

Karena itu, setiap orang percaya sedang membawa benih ilahi di dalam dirinya. Tugas kita bukan menciptakan potensinya karena itu sudah ada. Tugas kita adalah menanam, menjaga, dan menyiram benih itu. pertanyaannya: benih mana yang sedang kamu siram setiap hari? Karena apa yang kamu siram, itulah yang akan tumbuh. Jika kamu terus menyiram kekhawatiran, maka kecemasan akan semakin kuat. Jika kamu menyiram luka, maka kepahitan akan berakar. Tapi jika kamu menyiram Firman , mendengarnya, merenungkannya, memperkatakannya ,maka benih ilahi itu akan bertumbuh dan mengambil alih hidupmu.  Yesus menggambarkan benih firman ini sebagai benih yang bertumbuh dalam berbagai tingkat hasil: 30 kali lipat, 60 kali lipat, bahkan 100 kali lipat. Perbedaan hasil itu bukan karena benihnya berbeda, benihnya sama, ilahi dan kekal. Yang membuat perbedaan adalah bagaimana benih itu ditanam, dijaga, dan disiram dalam hati orang percaya. Buah 30 kali lipat lahir dari hati yang mulai terbuka; 60 kali lipat dari hati yang memberi ruang lebih; tetapi 100 kali lipat lahir ketika seseorang menyerahkan seluruh aspek hidupnya kepada Firman.

Biarkan Benih Ilahi itu bertumbuh dan jadilah raksasa rohani, raksasa iman di generasi ini. Jangan pernah kecilkan dirimu ketika Allah sudah menaruh sesuatu yang besar di dalam rohmu. Apa yang Ia tanam bukan benih biasa , itu benih yang ilahi , benih kemenangan, benih pengurapan, dan benih otoritas. Bangkitlah, dan izinkan generasi ini melihat apa yang Tuhan sanggup lakukan melalui seseorang yang setia menyiram benih Firman setiap hari dan tidak menyerah. Engkau dipanggil menjadi raksasa iman ,bukan karena kekuatanmu, tetapi karena benih ilahi yang bekerja di dalam dirimu, bertumbuh, dan memanifestasikan Kristus melalui hidupmu. Apa pun yang sedang kau alami hari ini, teruslah ingat bahwa  benih Firman itu adalah solusi bagi setiap musim, setiap pergumulan, dan setiap langkah kehidupanmu.


BHS 



Minggu, 16 November 2025

Berdoalah dan Sadarilah !

                Ada sebuah sisi dari perjalanan rohani kita yang sering tidak kita sadari:  kita tidak pernah berjalan sendirian. Ada doa-doa yang tidak terlihat, syafaat-syafaat yang tidak terdengar, dan hati-hati yang diam-diam membawa nama kita ke hadapan Tuhan.

Ketika kita membaca kisah Musa, kita melihat seorang pemimpin yang berulang kali berdiri di celah bagi bangsa Israel. Israel sering kali tidak sadar apa yang Musa lakukan. Mereka malah bersungut-sungut, marah, bahkan menentangnya. Tetapi di balik semua suara mereka, ada suara lain yang jauh lebih penting: suara Musa yang naik ke hadapan Tuhan. Dialah yang menahan murka, dialah yang memohonkan belas kasihan, dialah yang berdiri sebagai pagar rohani agar bangsa itu tidak binasa. Ironisnya, bangsa itu tidak pernah tahu seberapa sering mereka diselamatkan oleh doa Musa. Mazmur 106:23 “Musa… berdiri di celah untuk menahan murka-Nya.”


Demikian pula dengan Ayub. Anak-anaknya tidak mengerti, mungkin tidak terlalu peduli, dan tidak pernah melihat kedalaman kasih seorang bapa yang setiap hari, tanpa henti, mempersembahkan korban untuk mereka. Tidak ada yang meminta. Tidak ada yang melihat. Tetapi Ayub tetap berdiri sebagai penopang rohani keluarga melindungi masa depan mereka dengan doa yang tersembunyi.

Ayub 1:5“Ayub memanggil mereka… dan mempersembahkan korban…sebab katanya: ‘Mungkin anak-anakku telah berbuat dosa…’Demikianlah dilakukan Ayub sepanjang waktu.”

Ada satu pewahyuan penting dari kisah Musa dan Ayub: sering kali kamu dan saya tidak sadar bahwa ada orang-orang yang sedang berdoa bagi hidup kita , seseorang yang Tuhan bangkitkan untuk menutupi, menjaga, dan berdiri di celah bagi perjalanan kita. Sadarlah bahwa ada orang di luar sana yang mendoakanmu: mungkin orang tua, sahabat, atau seseorang yang mengenalmu, baik dari dekat maupun jauh. Doa mereka bekerja diam-diam, meskipun kamu tidak mengetahuinya dan tidak pernah melihatnya.

Di saat yang sama, jika engkau seorang pemimpin, gembala, atau bapa rohani, engkau dipanggil untuk menjadi seperti mereka: teruslah berdoa bagi orang-orang yang Tuhan percayakan kepadamu, teruslah membawa nama mereka ke hadapan Tuhan, dan jangan berhenti menutupi mereka dengan syafaat—meskipun orang-orang yang kamu doakan tidak tahu bahwa kamu sedang berdoa bagi mereka. Sebab Firman berkata, “Tetaplah berdoa” (1 Tesalonika 5:17) , doa yang terus dinaikkan itulah yang menjaga sebuah generasi.         


BHS 

Rabu, 12 November 2025

Daud Sendiri !

                   Ketika seluruh bangsa Israel diliputi ketakutan menghadapi seorang raksasa dari Gat bernama Goliat, muncullah seorang anak muda yang tampaknya tidak berarti di mata manusia—Daud. Ia bukan prajurit, bukan orang berpengalaman perang, melainkan hanya seorang gembala muda yang diutus ayahnya untuk mengantarkan bekal bagi kakak-kakaknya di medan perang. Namun justru dari anak kecil inilah Tuhan menunjukkan kuasa-Nya.

1 Samuel 17:32 mencatat perkataan Daud kepada Saul: “Janganlah seseorang menjadi tawar hati karena dia; hambamu ini akan pergi melawan orang Filistin itu.”

Sejarawan dan penafsir Alkitab memperkirakan bahwa usia Daud ketika menghadapi Goliat berkisar antara 15–17 tahun , masih sangat muda, bahkan mungkin belum cukup umur untuk ikut wajib militer ,(bandingkan dengan Bilangan 1:3 yang menyebut usia 20 tahun ke atas untuk berperang).Lalu mengapa anak sekecil ini begitu berani? Apakah karena ia seorang pemberani alami? Sebagian iya. Namun lebih dari itu, karena Roh Allah sudah melatih dan mempersiapkan nya sejak dini

Keberanian Daud tidak muncul secara tiba-tiba di medan perang, melainkan lahir dari keintiman yang telah terbangun lama antara dirinya dan Tuhan di padang gembalaan. Di tempat sunyi itu, jauh dari sorotan manusia, Daud belajar mendengar suara Tuhan, melindungi domba-dombanya, dan percaya bahwa Tuhan sanggup menolong dalam setiap bahaya. Ia bersaksi kepada Saul:

“Hamba-Mu ini biasa mengembalakan kambing domba ayahnya; apabila datang singa atau beruang dan menerkam seekor domba dari kawanannya, maka aku mengejarnya, memukulnya dan melepaskan domba itu dari mulutnya.”
1 Samuel 17:34–35

Yang luar biasa, Daud tidak pernah meminta tolong kepada ayah atau saudara-saudaranya ketika menghadapi ancaman itu. Ia tidak lari mencari perlindungan manusia, melainkan berdiri menghadapi bahaya bersama dengan Tuhannya. Di situlah Daud mengalami sendiri penyertaan dan kuasa Allah. Pengalaman-pengalaman pribadi ini menempa dirinya menjadi pribadi yang terlatih, kuat, dan percaya penuh kepada Tuhan. Roh Kudus menyingkapkan bahwa kemenangan Daud atas Goliat tidak dimulai di Lembah Ela, tetapi di padang yang sunyi, di mana ia belajar berjalan bersama Tuhan seorang diri. Di sanalah otot-otot rohaninya ditempa, imannya diperkuat, dan karakternya dibentuk.

Karena itu, jangan pernah meremehkan masa-masa kesendirianmu bersama Tuhan. Ada waktu di mana kita harus berdiri sendiri, tanpa dukungan siapa pun, dan menghadapi situasi yang tampak berat. Namun justru di tempat tersembunyi itulah Tuhan sedang bekerja — memperkuat tulang-tulang rohanimu, meneguhkan imanmu, dan mempertajam rohmu. Ia sedang mempersiapkan engkau untuk hari di mana engkau akan berdiri di hadapan “Goliat”-mu dan melihat kemenangan dari tangan-Nya.

Mazmur 18:33–34 berkata:“Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, dan menempatkan aku di bukit-bukitku; Ia melatih tanganku untuk bertempur, sehingga lenganku dapat melenturkan busur tembaga.”

Kesendirian bersama Tuhan bukanlah kesia-siaan — itu adalah tempat latihan para pahlawan iman, tempat di mana Tuhan membentuk prajurit-Nya dalam diam, sebelum Ia memunculkan mereka di hadapan bangsa-bangsa.



BHS



Selasa, 11 November 2025

Bisu !

                    Kita belajar dari prinsip spoken word  bahwa setiap perkataan yang keluar dari mulut kita membawa kuasa yang dapat mengubahkan. Begitulah cara kerja Kerajaan Allah: dari mulut keluar perkataan, dan dari perkataan itu mengalir kehidupan atau kematian. Firman Tuhan tidak pernah berdiri sendiri; ia mencari wadah untuk diucapkan, dan ketika keluar melalui mulut seseorang yang percaya, surga meneguhkannya dengan kuasa. Tetapi sebaliknya, ketika yang keluar dari mulut kita bukanlah iman, melainkan keraguan, ketakutan, atau ketidakpercayaan, maka perkataan itu pun dapat melahirkan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.


Hari ini saya merenungkan tentang seorang tokoh  Alkitab yaitu kehidupan kehidupan Zakharia. Ketika malaikat Tuhan menyampaikan janji bahwa Elisabet, istrinya yang sudah lanjut usia, akan mengandung dan melahirkan Yohanes Pembaptis — sang pembuka jalan bagi Mesias — Zakharia menjawab dengan keraguan. Ia tidak mempercayai apa yang disampaikan surga. Dalam ketidakpercayaannya itu, ia berbicara dengan logika manusia dan mengabaikan kuasa firman ilahi. Karena itulah, malaikat harus membuatnya bisu untuk sementara waktu. Mulut Zakharia dikunci oleh surga, bukan sebagai bentuk hukuman semata, tetapi sebagai bentuk perlindungan. Tuhan menutup mulutnya supaya perkataan yang salah tidak keluar dan menggagalkan rencana Allah yang sedang dinyatakan. Ada waktu di mana surga lebih memilih kita diam daripada salah berbicara. Sebab perkataan yang salah dapat menciptakan atmosfir yang bertentangan dengan apa yang Tuhan sedang kerjakan. Zakharia dibuat bisu supaya firman Tuhan tetap murni berjalan tanpa terkontaminasi oleh ketidakpercayaan manusia. Dan ketika saatnya tiba, lidahnya dilepaskan kembali , bukan untuk membantah, tetapi untuk memuliakan Tuhan dan menegaskan penggenapan janji-Nya.

 Dari kisah ini kita belajar bahwa berbicara bukan sekadar kemampuan mulut, tetapi tanggung jawab rohani. Tidak setiap hal perlu diucapkan, dan tidak setiap emosi layak dituangkan dalam kata-kata. Untuk berbicara, kita perlu hikmat; untuk diam pun, kita perlu ketaatan. Ada waktu di mana Tuhan mengizinkan kita “dibuat bisu”  bukan karena Dia ingin membatasi kita, tetapi karena Ia sedang melindungi masa depan yang Ia sedang bentuk melalui hidup kita. Karena itu, berhati-hatilah dalam berbicara. Ukurlah setiap kata dengan hati yang tunduk kepada Tuhan. Lebih baik engkau diam dalam penantian, daripada berbicara dengan tergesa dan menghalangi apa yang sedang Tuhan kerjakan. Sebab perkataan yang keluar dari mulutmu adalah arah bagi langkahmu  dan dari sanalah kehidupan atau kematian mengalir. blessing ! 


BHS


Minggu, 09 November 2025

3x

                       Pagi ini Roh kudus membawa saya untuk merenungkan kisah seorang Petrus, dimana Tiga kali Petrus menyangkal Yesus, dan tiga kali pula Yesus bertanya kepadanya, “Apakah engkau mengasihi Aku?”  ini bukan kebetulan. Di tepi pantai itu, Yesus sedang menulis ulang sejarah Petrus, satu kalimat kasih menggantikan setiap kalimat penyangkalan. Ini bukan percakapan biasa antara Tuhan dan murid-Nya; ini adalah momen surgawi di mana kasih sedang melakukan proses undo atas luka masa lalu. Di hadapan api yang menyala di pantai itu — api yang mengingatkan Petrus pada api di halaman imam besar tempat ia menyangkal Yesus — Tuhan membalik makna dari tempat kegagalan menjadi tempat pemulihan.


Setiap pertanyaan Yesus adalah tangan kasih yang perlahan menghapus jejak kegagalan Petrus dan meneguhkan kembali panggilannya sebagai gembala Kerajaan. “Apakah engkau mengasihi Aku?” bukanlah tuduhan, melainkan pemulihan relasi; bukan penghukuman, tetapi peneguhan identitas. Yesus tahu, sebelum Petrus melangkah ke dalam panggilan besar — berdiri di hadapan ribuan orang pada hari Pentakosta — jiwanya harus dipulihkan terlebih dahulu. Kasih harus kembali menjadi dasar pelayanannya. Tuhan tidak mau Petrus melayani dari luka, tetapi dari kasih yang telah disembuhkan. Sebab hanya kasih yang disembuhkan yang mampu menggembalakan mereka yang terluka.

Inilah penggenapan dari janji pemulihan ilahi seperti tertulis dalam Yoel 2:25,

“Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh belalang.”

Tuhan sedang memulihkan “tahun-tahun” Petrus mengalami malam-malam dengan air mata, jam-jam penyesalan, dan seluruh suara yang hilang di tengah rasa malu. Di hadapan kasih Kristus, segala yang hilang dikembalikan, dan segala yang rusak diperbarui. Yang dulu menyangkal kini diutus. Yang dulu gagal kini dipercaya kembali.

Setiap kali Yesus berkata, “Gembalakanlah domba-domba-Ku,” Ia sedang meneguhkan ulang panggilan yang pernah hilang karena penyangkalan. Ini bukan sekadar pengutusan baru, tetapi pengembalian mandat lama yang telah ditebus.  Kasih yang dulu menyangkal kini menjadi kasih yang meneguhkan. Suara yang dulu membisu kini menjadi suara yang memimpin jemaat mula-mula. Itulah kekuatan kasih yang memulihkan, kasih yang menulis ulang sejarah, kasih yang membalik kegagalan menjadi tempat pengutusan. Namun proses undo ini tidak terjadi dalam sekejap bukan ?. Kasih Tuhan memang seketika mengampuni, tetapi jiwa manusia sering kali memerlukan waktu untuk benar-benar menerima pengampunan itu. Begitu juga dengan Petrus. Di hadapan kasih yang tak bersyarat, Yesus sudah sepenuhnya mengampuni dia , tidak ada satu pun cela yang masih diingat di hadapan Allah. Namun di dalam diri Petrus masih ada gema dari masa lalu, luka yang belum sepenuhnya ia lepaskan. Tuhan tahu, meskipun Ia sudah mengampuni, Petrus masih harus belajar mengampuni dirinya sendiri.

Seperti Tuhan bertanya kepada Petrus sebanyak tiga kali, demikian juga hari ini Tuhan sedang bertanya kepada kita,  apakah kita mengasihi Tuhan lebih dari segalanya ? pertanyaan itu bukan untuk mempermalukan, tetapi untuk memulihkan. Sudah cukup menatap ke masa lalu, sudah saatnya bergerak dan melangkah maju. Ada banyak hal besar yang Tuhan sedang siapkan di depan. Jangan biarkan penyesalan menahan langkah langkah kehidupan. Tatap ke depan, percayakan hidupmu di tangan-Nya, dan biarkan Dia memakai hidupmu dengan cara yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya.


BHS



Kamis, 06 November 2025

Sumur Yang Benar !

              Dalam Yohanes pasal 4, kita membaca kisah luar biasa tentang Yesus yang berbicara dengan seorang perempuan Samaria di sumur Yakub. Di permukaan, percakapan itu tampak sederhana—tentang air dan kehausan. Namun di balik percakapan singkat itu, sesungguhnya terjadi pertemuan ilahi yang mengubahkan hidup perempuan itu untuk selamanya. Perempuan itu datang ke sumur pada waktu tengah hari (Yoh. 4:6), waktu yang tidak biasa bagi para wanita untuk menimba air. Itu menandakan ada luka dan penolakan dalam hidupnya. Ia datang sendirian, mungkin karena malu akan masa lalunya. Ia mencari air, sesuatu yang bisa memuaskan kebutuhan fisiknya, tetapi Yesus menyingkapkan bahwa haus terbesar dalam hidupnya bukanlah haus jasmani, melainkan haus jiwa.

“Jawab Yesus kepadanya: Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya, sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya akan menjadi mata air di dalam dirinya yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”
Yohanes 4:13–14

Yesus sedang mengalihkan fokus perempuan ini dari sumur yang di luar menuju sumur yang di dalam. Ia seolah berkata,

“Selama engkau mencari kepuasan di luar dirimu — dari hubungan, pengakuan, atau hal-hal duniawi — engkau akan terus haus. Tetapi jika engkau datang kepada-Ku, Aku akan menaruh sumber air hidup di dalam hatimu.”


Sering kali kita bersikap seperti perempuan Samaria , mencari sesuatu di luar diri kita untuk memuaskan hati: pekerjaan, pelayanan, pencapaian, bahkan orang lain. Kita menimba dari banyak “sumur dunia” ,  sumur pengakuan, sumur kesuksesan, sumur hiburan . tetapi tetap saja kita haus.

Padahal Yesus sudah menaruh Roh Kudus, sumber air hidup itu, di dalam setiap orang percaya.

📖 “Barangsiapa percaya kepada-Ku, seperti yang dikatakan oleh Kitab Suci: Dari dalam hatinya akan mengalir aliran-aliran air hidup.”
Yohanes 7:38

Yesus tidak berkata “dari luar”, tetapi “dari dalam hatinya akan mengalir.”
Artinya, segala yang kita butuhkan untuk hidup, mengasihi, melayani, dan bertahan dalam perjalanan iman — semuanya sudah ada di dalam, karena Roh Allah berdiam di sana.

📖 “Tetapi air yang akan Kuberikan kepadanya akan menjadi mata air di dalam dirinya yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”
Yohanes 4:14b

Itu bukan air yang berhenti mengalir. Itu adalah mata air rohani — sumber kehidupan yang tidak akan kering, bahkan di tengah musim kekeringan sekalipun. Masalahnya bukan apakah air itu ada, tetapi apakah kita menyadarinya dan membiarkannya mengalir. Banyak orang percaya masih menimba air di luar, mencari kepuasan dari dunia, padahal sumber air hidup sudah ada di dalam. Tuhan ingin mengingatkan kita hari ini: Berhentilah mencari air di luar. Datanglah kepada-Ku. Di dalam batinmu ada sumur yang tidak akan pernah kering.


BHS 

Bumi dan Surga Mengenali

            Pagi ini ada satu hal yang tiba-tiba terbersit di hati  tentang apa artinya menjadi pelayan publik dan bagaimana seorang hamba Tuhan hidup sebagai fulltimer bagi Kerajaan Allah. Perenungan ini untuk saya pribadi ada yang mungkin tidak setuju it's oke , namun demikian perenungan ini membawa saya kepada dua hal penting:

1. Menjadi Milik Publik: Hidup yang Terbuka untuk Kristus

Menjadi seorang pekerja Kerajaan Surga berarti menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan dan kepada dunia yang sedang menantikan terang Kerajaan-Nya. Hidup seorang pelayan Tuhan bukan lagi milik pribadi; ia telah mempersembahkan dirinya sebagai korban yang hidup bagi tubuh Kristus dan bagi misi Kerajaan di bumi.

Rasul Paulus berkata,

“Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.”
(1 Korintus 11:1)

Kalimat ini bukan sekadar ajakan untuk meniru gaya hidup, melainkan undangan untuk meneladani penyerahan total kepada Kristus. Paulus mengerti bahwa hidup seorang pelayan sejati tidak tersembunyi  ia adalah surat terbuka, dibaca, dilihat, dan dimaknai oleh banyak orang. Sebagai hamba Kristus, kita dipanggil untuk hidup go public — bukan untuk mencari perhatian, tetapi untuk memberi kesaksian. Dunia perlu melihat wajah Kristus melalui hidup kita: melalui cara kita mengasihi, melayani, dan tetap teguh dalam penderitaan. Ketika kita berkata “ya” kepada panggilan Tuhan, kita juga berkata “ya” untuk hidup di bawah sorotan publik — dilihat, diuji, bahkan disalahpahami. Namun justru di sanalah Injil bersinar. Melalui keterbukaan, ketulusan, dan kesetiaan hidup seorang pelayan, Kristus dikenal dan dimuliakan.

Menjadi fulltimer berarti kita bukan hanya dikenal oleh surga, tetapi juga diakui secara legal dan nyata oleh dunia bahwa hidup kita kini telah dipersembahkan sepenuhnya bagi Kerajaan Allah. Sejak saat itu, hidup kita tidak lagi bersifat pribadi, tetapi menjadi milik publik , alat Tuhan untuk menunjukkan kemuliaan-Nya di tengah masyarakat.

2. Ruang Pribadi yang Semakin Terbatas untuk Kemuliaan-Nya

Menjadi fulltimer atau pekerja Kerajaan Surga bukan hanya berarti melayani di altar gereja, tetapi juga di altar-altar publik , di sekolah, kampus, dunia kerja, dan di tengah masyarakat. Di sanalah kita berdiri sebagai duta Kerajaan Allah yang membawa nilai-nilai sorga ke dalam realitas dunia yang rapuh.

Namun hidup sebagai pelayan publik berarti siap menerima bahwa ruang pribadi kita akan semakin terbatas. Ketika kita menjawab panggilan Kristus, kita memilih untuk hidup terbuka di hadapan banyak orang. Hidup kita kini bukan lagi tentang kenyamanan pribadi, tetapi tentang kesaksian hidup bagi Kristus. Tuhan menempatkan kita di ruang yang bisa dilihat  bukan supaya kita dikenal, tetapi supaya Kristus dikenal melalui kita. Paulus tidak berusaha menjaga citra pribadinya; ia justru memperlihatkan luka-lukanya sebagai tanda kesetiaan kepada Injil. Ia hidup transparan, karena yang ia jaga bukan reputasinya, melainkan kemuliaan Kristus.

Inilah identitas sejati seorang pelayan publik Kerajaan Allah: seseorang yang telah mati bagi dirinya sendiri, dan kini hidupnya menjadi panggung bagi Kristus untuk dikenal. Ia bukan hanya fulltimer di gereja, tetapi fulltimer di hadapan Tuhan. Hidupnya adalah pelayanan yang terus berlangsung , membangun, menguatkan, dan menyalurkan kasih Kristus ke setiap tempat di mana ia diutus.

Sebuah Kasih Karunia yang besar namun diikuti rasa TanggungJawab yang besar pula ketika hidup kita berjalan dalam panggilanNya. Blessing



BHS

Senin, 03 November 2025

Pedang bermata dua

PEDANG ROH YANG MEMISAHKAN

Hari ini saya merenungkan kembali tentang Firman Tuhan, dan kata “pedang bermata dua” kembali berbicara kuat dalam hati saya. Tiba-tiba Roh Kudus membuka hal-hal yang sederhana namun membawa sudut pandang yang baru dan dalam.  

1. Pedang Roh sebagai Firman yang Memisahkan 

Ibrani 4:12 “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.”

Sering kali, kita berpikir bahwa Firman itu untuk orang lain—seolah pedang itu ditujukan untuk memisahkan jiwa dan roh orang lain. Sebagai seorang pengkotbah, saya pun kerap terjebak dalam pemikiran itu. Namun Roh Kudus mengingatkan saya bahwa pedang Roh pertama-tama bekerja dalam diri kita sendiri.

Sebelum pedang itu digunakan untuk melawan musuh (iblis), Firman itu harus lebih dulu menusuk ke dalam diri kita, memisahkan apa yang dari roh dan apa yang dari jiwa. Sebab hanya ketika Firman itu menembus hati kita dengan tajam, maka versi terbaik dari diri kita yang Tuhan maksud bisa keluar.

Kata “memisahkan” dalam bahasa Yunani, merizei, berarti “to divide accurately” membelah dengan presisi surgawi. Artinya, Firman Allah bekerja dengan ketepatan ilahi untuk menyingkapkan mana yang berasal dari Roh, dan mana yang hanya keinginan manusia. Ketika kita ingin hidup semakin tajam dalam roh, maka fungsi pedang Roh inilah yang menajamkan kita. Firmanlah yang mempertajam pengertian kita, menyaring motivasi kita, dan memurnikan arah hidup kita. Jadi, mari berjuang setiap hari agar Firman itu benar-benar memisahkan antara keinginan roh dan keinginan daging dalam hidup kita. hal ini seharusnya membawa kita lebih sadar , kenapa kita banyak tau ayat firman , tau kebenaran tapi hidup tidak berubah? karakter tidak berubah? karena kita selalu lemparkan pedang ini ke orang lain tanpa menyadari hidup kita sendiri perlu ditusuk oleh kebenaran firman untuk kebaikan dan ketajaman kita sendiri.

2. Alat Pertempuran jarak dekat.

Efesus 6:17 “Dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah.”

Kata “pedang” di sini berasal dari bahasa Yunani machaira, yang menggambarkan pedang pendek atau belati tempur Romawi, bukan pedang panjang seperti milik prajurit kavaleri. Pedang ini digunakan untuk pertempuran jarak dekat, di mana prajurit harus terampil, cepat, dan tepat.

Paulus sengaja memakai kata ini untuk menunjukkan bahwa pedang Roh adalah senjata ofensif, bukan alat pertahanan pasif. Ia digunakan untuk menyerang dan menaklukkan musuh. Dengan simbol ini, Paulus menegaskan bahwa peperangan rohani bukan sesuatu yang jauh atau abstrak, melainkan pertempuran yang sangat pribadi dan nyata—terjadi di hati, pikiran, dan perkataan kita setiap hari. Sama seperti prajurit Romawi harus mahir menggunakan pedangnya dalam pertempuran yang sengit, demikian pula kita sebagai orang percaya harus terampil menggunakan pedang Roh, yaitu Firman Allah yang diaktifkan oleh Roh Kudus, untuk melawan setiap tipu daya dan kebohongan si jahat dalam setiap area kehidupan.

Bayangkan seseorang yang hidup tanpa pedang Roh ,tanpa Firman yang aktif dalam hidupnya. Ia tidak akan mampu membedakan antara roh dan jiwa, antara kebenaran dan keinginan diri. Akibatnya, hidupnya akan penuh kebingungan dan ketidakmengertian akan apa yang harus dilakukan setiap hari. Orang yang tidak pernah memakai pedang Firman juga tidak akan pernah benar-benar memenangkan pertandingan rohani. Kemenangannya hanya bersifat sesaat, sebatas emosi dan jiwa.

Karena itu, kenalilah pedangmu. Kenalilah Firman Tuhan yang hidup dan tajam itu. Biarlah Firman menajamkan kehidupanmu hari demi hari, sampai engkau menjadi prajurit Kristus yang kuat, terampil, dan selalu menang dalam setiap pertempuran rohani. ⚔️


BHS

 

Minggu, 02 November 2025

Poiema !

 Efesus 2:10 berkata,

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”

Ada dua hal penting dari ayat ini.

Yang pertama, kata “buatan” dalam bahasa aslinya adalah poiēma, yang menjadi akar kata dari poem — puisi, karya seni. Ini berarti kita bukan sekadar ciptaan biasa, tapi sebuah karya seni ilahi. Tuhan adalah Sang Seniman Agung yang sedang melukis kehidupan kita di atas kanvas kasih dan rencana-Nya.

Sering kali kita ingin memahami cara kerja Tuhan dengan logika manusia. Kita ingin semuanya jelas, teratur, dan masuk akal. Tapi kalau kita melihat dari sisi seni, kita akan sadar — seorang seniman tidak selalu menjelaskan setiap guratan yang ia buat. Ia hanya tahu bahwa setiap sapuan kuas punya maksud, setiap warna punya makna, dan semuanya akan membentuk satu gambar yang indah ketika sudah selesai. Begitu pula Tuhan dengan hidup kita. Ada masa ketika warna hidup kita tampak gelap, ada saat di mana garisnya terlihat tidak beraturan, bahkan kita sendiri tidak mengerti apa yang sedang Ia kerjakan. Tapi di balik semua itu, Tuhan sedang menulis puisi tentang kita — kisah hidup yang penuh makna, keindahan, dan tujuan. Mungkin sekarang kamu belum bisa melihat hasil akhirnya, tapi itu karena lukisan-Nya belum selesai.

Sekitar seminggu yang lalu, saya berada di Bali untuk mendoakan dan mendampingi seorang sahabat yang sedang sakit. Hari Selasa lalu, akhirnya sahabat saya dipanggil pulang ke rumah Bapa. Ia meninggalkan seorang istri yang masih berusia 32 tahun dan tiga anak kecil, yang paling besar baru berumur lima tahun. Saat itu, ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di hati saya. “Why, Lord? Kenapa, Tuhan?” Mengapa harus sekarang? Mengapa harus dia? Namun di tengah semua pertanyaan itu, Tuhan berbicara melalui Efesus 2:10: Ayat ini seperti menghembuskan napas baru dalam hati saya. Saya diingatkan bahwa Tuhan adalah Sang Seniman Agung, pelukis yang sedang menyelesaikan karya-Nya di atas kanvas kehidupan. Kadang kita tidak mengerti bentuknya, tidak paham arah goresannya, bahkan sulit menerima warna-warna gelap yang Ia torehkan dalam hidup kita. Tapi satu hal pasti — Tuhan tidak pernah salah dalam melukis. Kisah sahabat saya belum berakhir. Lukisan Tuhan dalam hidupnya masih berbicara, melalui istrinya, anak-anaknya, dan setiap orang yang mengenalnya. Gambar itu mungkin belum selesai di mata kita, tapi di tangan Sang Pelukis, semuanya sedang disatukan menjadi karya yang indah. Sering kali kita hanya perlu diam dan percaya. Meskipun kita tidak mengerti semua yang terjadi, kita tahu bahwa Tuhan tetap bekerja — menulis, melukis, dan menata setiap bagian hidup ini dengan kasih dan maksud yang sempurna. Karena pada akhirnya, ketika lukisan itu selesai, kita akan melihat betapa indahnya karya Tuhan dalam setiap perjalanan hidup kita.

Yang kedua, ayat ini juga menegaskan bahwa kita adalah masterpiece Tuhan — karya agung yang diciptakan dengan unik dan berbeda satu sama lain. Tidak ada satu kehidupan pun yang salah di tangan Tuhan. Setiap orang punya warna dan bentuknya sendiri dalam kanvas besar rencana Allah. Jadi, jangan terburu-buru menilai hidupmu dari bagian yang belum selesai. Biarkan Tuhan terus bekerja, menulis, melukis, dan membentukmu. Karena ketika Ia selesai, kamu akan menyadari — ternyata setiap proses, setiap luka, setiap perubahan, semuanya menjadi bagian dari karya seni yang sempurna.

Dan ketika waktunya tiba, semuanya akan menjadi indah pada waktunya.


BHS