Iman adalah dasar; dalam bahasa Yunani kata “dasar” adalah hypostasis, fondasi yang kokoh, sesuatu yang membuat kita berdiri teguh. Karena itu, iman tidak pernah dibangun di atas kemampuan diri atau rasa percaya diri manusia, tetapi hanya di atas perkataan Tuhan. Dan inilah masalah yang sering terjadi: banyak orang tidak sadar bahwa mereka sedang membangun hidupnya di atas dasar yang salah yaitu percaya diri. Percaya diri memang tampak baik dan terdengar positif, tetapi itu tidak memiliki bobot kekekalan. Percaya diri lahir dari daging , dari pengalaman, emosi, kekuatan, dan logika manusia—yang semuanya bisa berubah sewaktu-waktu. Percaya diri bisa membuat seseorang tampak berani, tetapi tanpa fondasi ilahi. Ketika badai datang, dasar itu retak dan tidak mampu menopang apa pun.
"Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." Ibrani 11:1
Salah satu contoh paling jelas adalah Saul. Ketika Samuel tidak segera datang, Saul merasa dirinya cukup rohani untuk mengambil alih dan mempersembahkan korban sendiri. Ia melampaui batas yang Tuhan tetapkan, bukan karena iman, tetapi karena ketakutan dan percaya diri manusiawi. Ia merasa “Aku bisa lakukan ini,” tanpa menunggu apa yang Tuhan perintahkan melalui nabi-Nya. Tindakan yang terlihat logis dan rohani itu justru menunjukkan bahwa Saul berdiri di atas dasar yang salah—diri sendiri, bukan firman Tuhan. Dan keputusan itu mengakibatkan kerajaannya dipatahkan.
Dasar yang salah terlihat ketika seseorang berkata, “Aku yakin aku bisa,” tanpa mendengar apa pun dari Tuhan. Atau ketika seseorang maju melangkah bukan karena firman, tetapi karena ambisi, optimisme, dan keyakinan pribadi. Itu bukan iman itu hanya kepercayaan diri yang dibungkus secara rohani. Dan firman Tuhan berkata, “Daging sama sekali tidak berguna.” Diri kita ini rapuh; kekuatan kita terbatas; kemampuan kita tidak dapat menopang perjalanan iman. Karena itu percaya diri adalah dasar yang rapuh, samar, dan tidak bisa menahan badai kehidupan.
Abraham tidak pernah melangkah dengan percaya diri. Ia tidak berangkat karena ia merasa mampu, atau karena ia yakin dirinya kuat. Ia melangkah karena Allah berfirman, dan firman itu menjadi fondasi yang mengokohkan setiap langkahnya. Ia berdiri di atas dasar ilahi yang berasal dari perkataan Tuhan. Itulah yang membedakan hidupnya. Dan bukan hanya Abraham. Seluruh tokoh dalam Ibrani 11, para pahlawan iman, adalah orang-orang yang hidup dengan mendasarkan seluruh perjalanan mereka kepada perkataan Allah. Mereka bukan luar biasa karena kemampuan diri; mereka bukan hebat karena kepribadian atau pengalaman. Mereka berbeda karena Allah yang besar bekerja di dalam mereka melalui iman. Mereka memilih menjadikan firman sebagai fondasi, bukan perasaan, bukan logika, bukan percaya diri. Itulah yang membuat hidup mereka melampaui manusia pada umumnya.
Satu contoh yang sangat jelas adalah Petrus. Ia tidak berjalan di atas air karena ia percaya diri atau merasa mampu. Ia melangkah hanya setelah Yesus berkata, “Datanglah.” Firman itu menjadi dasar langkahnya, dan selama ia berdiri di atas firman, ia berjalan di tengah badai. Tetapi ketika Petrus mengalihkan pandangannya dari Yesus kepada dirinya sendiri , ketakutannya, perasaannya, pikirannya, dasarnya bergeser dari firman ke daging, dan ia mulai tenggelam. Itulah gambar paling nyata dari hidup yang berdiri di atas dasar diri sendiri: ketika kita bersandar pada kekuatan manusia, iman mulai retak dan hidup mulai tenggelam.
Karena itu, hari ini biarlah Roh Kudus memurnikan fondasi hidup kita. Jangan bangun masa depanmu di atas percaya diri. Jangan berdiri di atas kemampuan daging. Jangan melangkah tanpa firman. Dasar kita adalah Kristus, kekuatan kita adalah perkataan-Nya, dan iman kita menjadi hidup ketika firman itu tinggal dan diaktifkan di dalam hati kita. Hanya firman yang menjadi dasar sejati . dasar yang tidak tergoncangkan, dasar yang memampukan kita berjalan di atas badai dunia ini tanpa tenggelam.
BHS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar