Jumat, 19 Desember 2025

Kesadaran Akan hadiratNya

           Salah satu tanda paling nyata dari hidup yang bertumbuh dalam kesadaran akan hadirat Tuhan adalah munculnya roh takut akan Allah secara spontan. Bukan roh takut yang melumpuhkan, bukan ketakutan akan masa depan atau manusia, melainkan rasa gentar yang kudus karena roh kita menangkap bahwa Allah benar-benar hadir. Ketika hadirat Tuhan disadari, hati menjadi lembut, pikiran dijaga, dan langkah mulai tertata. Kita tidak lagi hidup serampangan, sebab ada kesadaran bahwa setiap keputusan dibuat di hadapan wajah Tuhan. Inilah takut akan Tuhan yang sejati bukan hasil tekanan luar, tetapi buah dari keintiman dengan-Nya.

Alkitab menunjukkan bahwa setiap kali manusia menyadari hadirat Allah, respons yang muncul adalah ketundukan. Musa menutupi wajahnya ketika menyadari ia berdiri di tanah kudus (Kel. 3:5–6). Yesaya berseru, “Celakalah aku,” saat melihat kemuliaan Tuhan (Yes. 6:1,5). Yusuf menolak dosa bukan karena situasi, tetapi karena ia hidup dengan kesadaran bahwa Allah menyertai hidupnya (Kej. 39:9). Dalam ketiga kisah ini, takut akan Allah bukan diajarkan lebih dulu ia muncul sebagai respons alami terhadap hadirat Tuhan. Kekudusan Allah menghasilkan kegentaran yang menyehatkan roh manusia.

Takut akan Tuhan inilah yang menjadi salah satu fondasi kehidupan rohani. Orang yang hidup dalam kesadaran hadirat Tuhan tidak membutuhkan banyak larangan, karena hatinya sudah dijaga dari dalam. Firman berkata, takut akan Tuhan adalah permulaan hikmat (Ams. 1:7), dan Tuhan bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia (Mzm. 25:14). Di zaman yang penuh kompromi, Tuhan sedang membangkitkan generasi yang tidak digerakkan oleh ketakutan dunia, tetapi oleh roh takut akan Allahgenerasi yang hidup di hadapan-Nya, berjalan dalam kekudusan, dan memancarkan terang-Nya ke mana pun mereka diutus.



BHS

Kamis, 18 Desember 2025

Alarm Rohani

                  Pagi ini ketika membuka berita saya dikejutkan oleh  fenomena yang sedang terjadi di timur tengah: wilayah gurun di Arab Saudi mengalami hujan salju,  yang sangat panas tiba-tiba berubah menjadi dingin. musim dan pola alam bergeser, dan dunia seolah keluar dari keteraturan yang selama ini kita anggap stabil. Firman Tuhan tidak pernah meminta umat-Nya untuk panik, tetapi untuk peka dan berjaga. Yesus dengan tegas berkata, 

" Kamu tahu membedakan rupa langit, tetapi tanda-tanda zaman tidak kamu ketahui” (Matius 16:3). Ini menunjukkan bahwa kepekaan rohani jauh lebih penting daripada kecerdasan alami. Fenomena alam ini bukan sekadar berita viral atau anomali cuaca; ini adalah alarm rohani yang membangunkan kesadaran kita bahwa dunia sedang memasuki fase yang berbeda dan kita dipanggil untuk membaca waktu dengan terang firman.

Alarm rohani ini menjadi jelas ketika kita melihat pola Alkitab: Allah berulang kali memakai alam dan waktu untuk berbicara kepada manusia. Pergeseran musim, goncangan bumi, dan ketidakstabilan ciptaan bukan kejadian acak, melainkan isyarat ilahi. Roma 8 menyatakan bahwa seluruh ciptaan “mengeluh dan merasa sakit bersalin”, menantikan sesuatu yang akan dilahirkan. Dengan kata lain, kegoncangan yang kita saksikan bukan tanda kehancuran semata, tetapi tanda bahwa sesuatu sedang dipersiapkan untuk dilahirkan. Tuhan sedang mengingatkan umat-Nya bahwa apa yang selama ini dianggap aman ternyata rapuh, sementara kerajaan Allah yang sering diabaikan justru berdiri sebagai satu-satunya yang tidak tergoncangkan.

Di tengah berbagai goncangan yang kita lihat hari-hari ini, pagi ini Roh Kudus kembali mengingatkan saya akan satu kebenaran yang kuat: sebelum kesudahan zaman, akan terjadi pemulihan segala sesuatu (Kisah Para Rasul 3:21). Ini menolong kita melihat bahwa kegoncangan bukanlah tanda Tuhan menjauh, melainkan tanda bahwa Ia sedang bekerja. Apa yang terguncang bukan untuk dihancurkan, tetapi untuk dipulihkan.  Saat ini Tuhan sedang memulihkan ,perlahan namun pasti, hati manusia kembali kepada-Nya, keluarga kepada rancangan semula, dan gereja kepada panggilan yang sejati. Apa yang sempat rusak tidak dibiarkan runtuh begitu saja, tetapi dijamah, ditebus, dan dikembalikan oleh tangan Tuhan yang penuh kasih. Di balik semua yang terjadi, pemulihan itu sedang berlangsung.dan akan terus berlangsung sampai Dia datang kali yang kedua. apakah alarm rohanimu berbunyi ?




BHS

Rabu, 17 Desember 2025

kita ini Hamba Tuhan

                       Di bulan Desember seperti ini, kita sering mendengar kembali kisah Natal yang sama. Namun ada satu momen yang selalu menegur hati: saat Maria menerima kabar yang mengubah seluruh hidupnya. Ia masih muda, hidupnya sederhana, dan masa depannya belum jelas. Di tengah kebingungan dan risiko yang besar, Maria tidak banyak bicara, tidak berdebat, dan tidak menunda. Ia hanya berkata, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan” (Luk. 1:38). Kalimat itu sederhana, tetapi di situlah Maria menempatkan hidupnya dengan benar , bukan di tangannya sendiri, melainkan di tangan Tuhan.

Dengan berkata “aku ini hamba Tuhan,” Maria sedang mendefinisikan ulang hidupnya. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sepenuhnya miliknya sendiri. Setiap langkah, setiap perkataan, dan setiap keputusan membawa dampak bagi banyak orang. Hidupnya menjadi hidup yang dilihat, dibaca, dan dipakai Tuhan. Sama seperti kita dalam kehidupan sehari-hari, cara kita berbicara di rumah, bersikap di tempat kerja, merespons di pelayanan,semuanya mencerminkan siapa yang kita layani. Seorang hamba Tuhan hidup dengan kesadaran bahwa hidupnya dipersembahkan, bukan disimpan untuk diri sendiri.ketika maria mengatakan bahwa dia adalah hamba Tuhan, ada kesadaran bahwa hidupnya bukan miliknya lagi namun milik Tuhan dan sesama.

Inilah pelajaran yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun dari kita. Setiap kita adalah hamba Tuhan. Tidak ada hidup yang netral dan tidak ada hati yang tanpa tuan. Pertanyaannya bukan apakah kita hamba, tetapi hamba siapa kita hidup setiap hari. Jika Tuhan tidak memegang kendali, maka sesuatu yang lain pasti mengambil tempat entah keinginan diri, ambisi pribadi, dosa, uang, atau penilaian manusia. Karena itu, seperti Maria, kita perlu dengan sadar dan sengaja berkata kepada diri kita sendiri: “Aku ini hamba Tuhan.” Bukan sebagai kalimat rohani, tetapi sebagai keputusan hidup. Dari pengakuan inilah hidup kita didefinisikan ulang siapa yang kita taati, suara siapa yang kita dengarkan, dan arah mana yang kita pilih untuk kita jalani. 

ada sebuah lagu lama yang berkata " hidupku bukannya aku lagi tapi Yesus dalamku " artinya Yesuslah yang menjadi Tuan kita dan kita mengikuti apa yang Dia mau, bukan lagi keinginan daging dan keinginan kita sendiri. mari kita ingatkan diri kita, terutama untuk para pendeta , fulltimer atau pelayanan Tuhan , ingatkan diri kita bahwa kita adalah hamba Tuhan. dan bersikaplah seperti seorang hamba Tuhan bukan boss Besar :) . Blessing 



BHS

Selasa, 16 Desember 2025

Katakan kepada Cermin

                Daud menulis Mazmur 27 bukan saat hidupnya aman. Ia sedang berada dalam ancaman nyawa. Musuh menyerang, tentara mengepung, dan bahkan ia merasakan keterasingan yang begitu dalam sampai berkata, “Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku…” Ini bukan bahasa simbolik ringan. Ini bahasa seseorang yang sedang dikejar, diisolasi, dan hidup dalam tekanan yang nyata. Namun yang mengejutkan, Mazmur ini tidak dibuka dengan keluhan, melainkan dengan deklarasi: “TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku takut?” Daud memilih membuka mulutnya bukan untuk menuruti rasa takut, tetapi untuk menegaskan kebenaran.

" Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar? " Mazmur 27:1  

Mazmur 27:1 memperlihatkan sesuatu yang sangat penting: Daud sedang berbicara kepada dirinya sendiri. Ia tidak sedang meyakinkan musuhnya, bukan pula sedang menenangkan orang lain. Ia berbicara dengan suara untuk membangkitkan kepercayaan yang ada di dalam dirinya sendiri. Daud mengerti satu hal: jika ia memilih diam, maka rasa takutlah yang akan berbicara lebih keras. Karena itu ia mendahului ketakutan itu dengan firman. Ia mengingatkan jiwanya sendiri ,Tuhan adalah terang, Tuhan adalah keselamatan, Tuhan adalah benteng hidup. Ini bukan pengakuan kosong, ini adalah tindakan iman yang sadar, karena suara yang paling sering kita dengar dalam hidup bukan suara dari luar, melainkan suara dari dalam diri kita sendiri. Firman Tuhan berkata, “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Daud memahami prinsip ini jauh sebelum ayat itu dituliskan. Dengan berkata-kata, ia sedang menciptakan pendengaran bagi dirinya sendiri. Ia membuat jiwanya mendengar kembali siapa Tuhan itu dan siapa dirinya di hadapan Tuhan. Perkataannya bukan lahir dari keragu-raguan, tetapi dari kepastian iman. Ia tidak berkata, “Aku berharap Tuhan menolong,” melainkan, “Tuhan adalah…” Daud tidak sedang mencoba meyakinkan Tuhan; ia sedang membangunkan imannya sendiri.

Sering kali sebagai manusia, kita perlu bercermin , menatap bukan wajah luar, tetapi keadaan batin yang terdalam , lalu mulai berbicara. Bukan berbicara untuk mengasihani diri, bukan meratap atas keadaan, melainkan berbicara untuk membangunkan iman yang tertidur di dalam. Kita menyatakan firman bukan karena situasi sudah membaik, tetapi justru karena situasi belum berubah. Dengan berkata-kata, kita sedang menempatkan kebenaran di atas perasaan. Kita sedang menegaskan kepada diri sendiri bahwa hidup ini tidak digerakkan oleh ketakutan, tekanan, atau ancaman, tetapi oleh kehadiran dan janji Tuhan. Inilah momen ketika manusia roh mengambil alih kemudi kehidupan. Mungkin tampak konyol berbicara kepada diri sendiri. Namun Alkitab memperlihatkan bahwa tindakan ini adalah praktik rohani yang dalam. Daud berkali-kali menegur jiwanya sendiri, “Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku? Berharaplah kepada Allah!” Ia tidak menunggu jiwanya pulih dengan sendirinya; ia memerintah jiwanya untuk kembali berharap. jadi mulai katakan kepada apa yang didalam kita untuk lebih tunduk kepada perkataaan firman daripada apa yang sedang terjadi di sekeliling kita. 



BHS

Senin, 15 Desember 2025

Ingat 10:38 !

Yaitu tentang Yesus dari Nazaret: bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa; Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, sebab Allah menyertai Dia.”  Kis 10:38

               Dalam ayat ini, frasa “Allah menyertai Dia” berasal dari bahasa Yunani ho Theos ēn met’ autou. Kata μετά  - meta dalam bentuk genetif berarti bersama dengan secara aktif, hadir untuk bekerja, bukan sekadar dekat secara pasif. Ini bukan gambaran Allah yang hanya “mengawasi dari jauh”, tetapi Allah yang turut hadir, turut bertindak, dan turut menyatakan kuasa-Nya. Penyertaan ini bersifat fungsional dan misioner , Allah menyertai Yesus supaya menyatakan kebenaran, menyembuhkan, dan menghancurkan pekerjaan Iblis. Penyertaan Allah selalu berkaitan dengan penugasan ilahi; di mana ada panggilan, di situ ada penyertaan yang aktif.

Pola penyertaan ini juga nyata dalam hidup tokoh-tokoh Alkitab yang diutus Tuhan. Musa dipanggil untuk menghadapi Firaun, tugas yang mustahil secara manusia. Namun Tuhan berfirman, “Aku akan menyertai engkau” (Kel. 3:12). Penyertaan itu bukan hanya janji emosional, tetapi kuasa nyata yang membelah Laut Teberau dan menjatuhkan kuasa Mesir. Yosua pun menerima mandat besar untuk menaklukkan Kanaan, dan Tuhan menegaskan, “Seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku menyertai engkau” (Yos. 1:5). Hasilnya, tembok Yerikho runtuh bukan oleh strategi militer, tetapi oleh penyertaan Allah yang bekerja melalui ketaatan.

Dalam sejarah yang lebih dekat dengan kita, penyertaan Allah terlihat jelas dalam kehidupan William Carey, yang dikenal sebagai Bapak Misi Modern. Ia diutus ke India pada abad ke-18 di tengah penolakan, kemiskinan, dan penyakit. Selama bertahun-tahun ia hampir tidak melihat buah pelayanan. Namun Carey bertahan karena satu keyakinan: Allah yang memanggilnya adalah Allah yang menyertainya. Penyertaan itu akhirnya menghasilkan terjemahan Alkitab ke berbagai bahasa lokal dan kebangunan rohani yang berdampak lintas generasi. Kisah-kisah ini menegaskan satu kebenaran yang sama: Allah tidak pernah menyertai tanpa tujuan, dan Ia tidak pernah mengutus tanpa hadir. Di mana ada misi, di situ penyertaan-Nya bekerja dengan kuasa.

10:38 , setiap kali melihat jam di angka itu kita selalu ingat Kisah Rasul 10:38,  bahwa kita disertai Tuhan dan kita diutus untuk melakukan pekerjaan yang Yesus lakukan. 



BHS

Minggu, 14 Desember 2025

Hati-Hati Kebenaran Palsu

             Matius 13:24–25 “Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata- Nya: ‘Hal Kerajaan Sorga itu seumpama orang yang menaburkan benih baik di ladangnya. Tetapi pada waktu semua orang tidur, datanglah musuhnya menaburkan benih lalang di antara gandum itu, lalu pergi.

              Yesus berkata bahwa Kerajaan Allah itu seperti sebuah ladang yang ditaburi benih baik. Ladang itu adalah hati manusia. Benih itu adalah Firman. Namun Yesus juga menyingkapkan satu kebenaran penting: musuh tidak menabur lalang saat orang berjaga, tetapi saat mereka tidur. Saat hati lengah. Saat hidup rohani berjalan otomatis. Saat Firman tidak lagi menjadi pusat perhatian. Di saat itulah musuh datang diam-diam. Ia tidak datang dengan dosa besar terlebih dahulu. Ia datang membawa benih-benih kecil pikiran yang kelihatannya wajar, perasaan yang terasa masuk akal, suara-suara yang terdengar seperti kebenaran. Ia menabur benih ketakutan, membuat hati mulai gemetar menghadapi masa depan. Ia menabur benih keraguan, sehingga janji Tuhan yang dulu kita yakini perlahan kehilangan kuasanya. Ia menabur benih kemarahan dan kepahitan, membuat luka kecil dibiarkan sampai mengeras dan berakar. Ia menabur benih kebohongan tentang identitas, membuat seseorang hidup dari rasa tertolak, gagal, dan tidak layak.

Semua benih ini masuk ke dalam hati namun tidak satu pun membawa kemerdekaan. Lalang selalu tumbuh tanpa memberi hidup. Ia menyerap energi, mengaburkan penglihatan rohani, dan perlahan mencuri damai sejahtera. Jika tidak disadari, seseorang bisa tetap rajin secara rohani, tetapi hatinya terikat oleh benih yang salah.

Namun kabar baiknya: Tuhan memberi kita Firman sebagai obat. Bukan suasana, bukan motivasi, bukan penghiburan sesaat. Firman adalah terang yang menyingkapkan kepalsuan dan mematahkan kuasanya. Saat Firman masuk, belenggu kehilangan haknya dan kemerdekaan dilepaskan.

Ketika ketakutan mulai berbicara, Firman datang dan berkata:n“Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban.”(2 Timotius 1:7)

Ketika keraguan mulai mengikis iman, Firman meneguhkan:“Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”(Roma 10:17)

Ketika kemarahan dan kepahitan menguasai hati, Firman memerintahkan pemulihan:“Segala kepahitan, kegeraman, dan kemarahan hendaklah dibuang dari antara kamu.” (Efesus 4:31)

Ketika luka batin dan rasa tertolak berakar, Firman menyentuh bagian terdalam:“Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka.” (Mazmur 147:3) .   Dan masih banyak contoh2 yg lain. Firman tidak hanya menenangkan 

              Firman membebaskan. Firman tidak menutupi lalang Firman mencabutnya sampai ke akar. Di hadapan kebenaran, setiap belenggu kehilangan haknya. Karena itu, hidup rohani yang sehat bukanlah hidup tanpa tantangan, melainkan hidup yang terus berjaga dan sengaja memilih benih yang benar. Apa pun musimnya saat sibuk, saat lelah, bahkan saat terlihat baik-baik saja kita dipanggil untuk tetap sadar secara rohani. Menjaga hati. Menjaga pikiran. Menjaga ladang. Sebab apa yang ditanam pasti bertumbuh. Dan hanya Firman Tuhan yang akan bertumbuh menjadi buah kemerdekaan yang nyata dan kekal.

“Dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”
(Yohanes 8:32)

Sekarang pertanyaannya: benih apa yang sudah tertanam di hatimu? Benih kepalsuan yang mengikat, atau benih kebenaran yang memerdekakan? Saat hati kita diselaraskan dengan kebenaran Firman, hidup tidak hanya menjadi lebih kuat hidup menjadi lebih berarti, lebih terang, dan sungguh-sungguh merdeka.


BHS

Jumat, 12 Desember 2025

Masa Sunyi

            Ada musim di mana Tuhan dengan sengaja membawa kita masuk ke dalam waktu sunyi sebuah musim tersembunyi, jauh dari sorotan, jauh dari tepuk tangan, tetapi sangat dekat dengan hati Tuhan. Di musim ini, Tuhan tidak sedang menghukum, Ia sedang mengundang. Mengundang kita untuk berhenti sejenak, duduk diam, dan belajar hidup berdua dengan-Nya.

Seperti Elia di tepi sungai Kerit (1 Raja-raja 17:2–6), Tuhan menyembunyikannya dari mata manusia, tetapi memeliharanya dengan tangan-Nya sendiri. Di tempat sunyi itu, Elia tidak berkhotbah, tidak melakukan mujizat besar, ia mendengar, menunggu, dan hidup dari setiap firman Tuhan. Begitu juga Daud di padang gurun, menggembalakan dua atau tiga ekor domba (1 Samuel 17:34–35). Tidak ada yang melihat kesetiaannya, tidak ada yang mencatat latihannya. Namun justru di kesunyian itulah Daud belajar bercerita dengan Tuhan, menghadapi ketakutan, mengalahkan singa dan beruang, serta membangun keberanian yang lahir dari hadirat Tuhan, bukan dari pengakuan manusia.

Masa sunyi adalah ruang perjumpaan. Di sanalah kita jujur, menangis, mengeluh, bertanya, dan belajar mendengar suara Tuhan tanpa gangguan. Di sanalah iman dipurnikan, motivasi diselaraskan, dan karakter dibentuk tanpa topeng. Jangan menyesali musim ini. Jangan merasa kalah hanya karena tidak terlihat. Masa sunyi bukan tanda tertinggal , itu tanda bahwa Tuhan sedang bekerja lebih dalam daripada yang bisa dilihat mata manusia. Ini adalah sekolah rahasia Tuhan, tempat Ia membangun fondasi yang tidak mudah runtuh.

Dan ya, setiap musim sunyi memiliki akhirnya. Ketika waktu-Nya genap, Tuhan sendiri yang berkata, “Bangkitlah, pergilah…” (1 Raja-raja 17:7). Namun masa tampil hanyalah kelanjutan alami dari ketaatan di tempat tersembunyi, bukan tujuan utama. Yang utama adalah relasi yang dibangun, hati yang diproses, dan hidup yang dibentuk di dalam hadirat-Nya.

Karena itu, hiduplah sepenuhnya di musim sunyimu. Jangan terburu-buru keluar. Jangan iri pada panggung orang lain. Apa yang Tuhan bangun dalam kesunyian akan menopangmu di hadapan banyak orang. Dan ketika tiba waktunya untuk bersinar, itu bukan karena engkau mengejar terang, tetapi karena terang itu sudah lebih dulu lahir di dalam hadirat Tuhan.



BHS

Kamis, 11 Desember 2025

Realita Surgawi

              Dalam hidup ini, kita sering menganggap apa yang mata jasmani lihat sebagai fakta final , hasil tes kesehatan, situasi keluarga, realita pelayanan, angka di rekening bahkan tekanan hidup yang ada di depan mata. Semua itu terlihat begitu nyata dan kuat, seakan tidak dapat diubah. Tetapi Firman Tuhan menunjukkan bahwa mata jasmani tidak pernah memberi kita realitas yang penuh. Apa yang kita lihat hanyalah permukaan, bukan kebenaran yang sejati. Alkitab berkata, 

“Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan…” 2 Korintus 4:18 

Artinya, hal yang tak kelihatan yang rohani, yang supranaturaly justru lebih nyata daripada yang kelihatan. Ketika mata rohani seseorang terbuka, ia mulai melihat realitas dari sudut pandang Tuhan. Itulah realitas yang sesungguhnya. Elisha pernah berdoa agar pelayannya melihat bahwa gunung-gunung sekeliling mereka penuh dengan kuda dan kereta berapi (2 Raja-Raja 6:17). Secara jasmani, mereka dikepung dan tidak punya harapan. Itu “fakta jasmani.” Tapi ketika Tuhan membuka mata rohani Gehazi, ia melihat bahwa kuasa Tuhan jauh lebih besar daripada ancaman yang terlihat. Fakta rohani fakta supranatural , langsung mengalahkan fakta jasmani. Realitas yang kelihatan berubah saat mata rohani terbuka.

Inilah yang terjadi pada kita ketika berjalan dengan Tuhan: mata rohani yang terbuka itulah realitas sesungguhnya. Di hadapan Tuhan, iman lebih kuat daripada data; janji-Nya lebih solid daripada keadaan; dan Firman-Nya lebih benar daripada situasi yang berubah-ubah. Mata jasmani bisa berkata “tidak mungkin,” tetapi mata rohani berkata “Allah sanggup.” Mata jasmani melihat kekurangan, tetapi mata rohani melihat penyediaan. Mata jasmani melihat jalan buntu, tetapi mata rohani melihat jalan yang Tuhan sedang bukakan. Dan apa yang mata rohani lihat itulah yang akhirnya menjadi realitas nyata dalam hidup kita. Sebab “iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Yang tak terlihat hari ini, akan menjadi kenyataan bagi mereka yang melihat dengan mata rohani. apa yang kau lihat ?



BHS

Rabu, 10 Desember 2025

Ruang untuk Iman !

                     Shalom, selamat pagi semuanya. Ada momen ketika manusia tiba pada batas terakhir kemampuannya. Ketika semua usaha sudah dicoba, semua pintu tampak tertutup, dan semua kekuatan seolah hilang. Justru di titik itulah Tuhan berbicara.

 2 Raja-raja 3:17: “Kamu tidak akan melihat angin, kamu tidak akan melihat hujan, namun lembah itu akan penuh dengan air.” 

Firman ini meneguhkan bahwa iman selalu membutuhkan ruang - ruang yang muncul saat manusia tidak lagi bisa mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Ketika tanda tidak terlihat, ketika bukti tidak muncul, ketika situasi tidak bergerak, justru di situlah iman mulai mengambil posisi. Iman tidak memerlukan angin; iman tidak memerlukan hujan; iman hanya membutuhkan Firman.  Ruang itu bukan kelemahan, melainkan altar kepercayaan. Ketika kita berhenti mengatur hidup dengan kekuatan kita sendiri, kita mengundang tangan Tuhan masuk dengan cara yang tidak bisa dilakukan manusia. Berserah bukan menyerah, tetapi memindahkan pusat kendali dari tangan kita ke tangan Tuhan. Ketika kita mengosongkan ruang di hati untuk bergantung pada Dia, iman seperti diberi oksigen , ia tumbuh, menguat, dan bergerak dengan bebas. Kita tidak lagi bergantung pada apa yang kita lihat, tetapi pada Firman yang tidak pernah gagal. Dan di tempat itulah iman bertumbuh dan berkembang.

            George Müller, seorang hamba Tuhan dari Inggris yang mengasuh lebih dari 10.000 anak yatim. Pada suatu pagi, pengurus rumah yatim datang dengan wajah panik—tidak ada makanan sama sekali untuk sarapan. Tidak ada roti, tidak ada susu, tidak ada cadangan apa pun. Anak-anak sudah duduk menunggu makan, tetapi meja tetap kosong. Dalam kondisi seperti itu, Müller tidak panik. Ia tidak lari mencari bantuan. Ia berkata, “Tuhan yang memanggil kita, Dia yang akan menyediakan.” Müller mengajak semua anak berdoa dan mengucap syukur atas makanan yang belum ada. Ia memberi ruang bagi Tuhan. Tanpa tanda-tanda, tanpa bukti, tanpa angin, tanpa hujan. Ketika doa selesai, pintu diketuk. Seorang tukang roti berkata bahwa ia terbangun jam 2 pagi karena merasa Tuhan menyuruhnya membuat roti lebih banyak untuk rumah yatim itu. Beberapa menit kemudian, seorang pengantar susu datang karena gerobaknya rusak tepat di depan pintu rumah Müller, dan ia menawarkan semua susu agar tidak terbuang. Tanpa tanda, tanpa bukti tetapi lembah itu dipenuhi air.

Semakin kita bergantung pada Firman, semakin bertumbuh iman kita. Iman tidak bertumbuh di tengah kepastian, tetapi dalam kekosongan yang Tuhan isi dengan cara-Nya sendiri. Ada saat ketika kita tidak melihat angin dan tidak melihat hujan, tetapi kita tetap percaya bahwa Tuhan bekerja di balik layar. Saat itulah kita menyediakan ruang terbesar bagi iman. Maka hari ini, mari kita membuka   ruang untuk berserah lebih lagi. Biarlah lembah hati kita menjadi tempat di mana Tuhan mencurahkan air-Nya, tepat ketika kita tidak melihat apa-apa, namun percaya kepada Dia yang bekerja di segala sesuatu demi kemuliaan-Nya.



BHS

Selasa, 09 Desember 2025

Buta tapi Melihat

 Markus 10:50–52

“Lalu ia menanggalkan jubahnya… Yesus berkata kepadanya: Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!”

             Bartimeus memang buta secara fisik, tetapi ia melihat sesuatu yang orang lain tidak lihat ia melihat apa yang Tuhan lihat. Di tengah kerumunan yang matanya terbuka namun rohnya tertutup, Bartimeus menangkap suara yang berbeda: suara Yesus yang memanggilnya keluar dari hidup lamanya. Ketika Yesus memanggilnya, ia belum melihat apa pun dengan mata jasmani, namun mata imannya menangkap satu kebenaran besar bahwa ketika Tuhan memanggil, identitas lama harus dilepaskan.

Itulah sebabnya Bartimeus menanggalkan jubahnya—simbol rasa aman, sejarah kelam, dan identitasnya sebagai pengemis. Jubah itu adalah tanda bahwa ia hanyalah seseorang yang meminta-minta, seseorang yang hidup dari belas kasihan orang lain. Tetapi ketika ia melepaskannya, ia sebenarnya sedang menanggalkan seluruh definisi masa lalunya. Ia melepaskan jubah sebelum ada perubahan apa pun di matanya. Tidak ada kesembuhan yang sudah terjadi secara fisik. Secara kasat mata, ia masih buta. Namun sesuatu terjadi di dalam dirinya: mata imannya sudah melihat sesuatu yang belum terlihat oleh mata jasmaninya. Ketika Bartimeus berdiri dan melangkah menuju Yesus, ia sedang berjalan kembali kepada arti namanya sendiri Bartimeus = Anak Kehormatan. Ia belum mengalami mujizat, tetapi ia sudah mengambil posisi baru. Ia mengenakan identitas baru dan menolak kembali kepada siapa dirinya yang lama. Ia bertindak berdasarkan apa yang ia lihat dalam roh, bukan apa yang ia lihat dengan mata. Dan ketika seseorang berani bergerak sesuai apa yang ia lihat dalam iman, sesuatu mulai bergeser di alam nyata. Langkah Bartimeus menuju Yesus bukan hanya langkah fisik; itu adalah deklarasi profetik bahwa identitas lama sudah selesai. Dan di titik itu, mujizat mulai mengikuti langkah imannya.

          Ia hanya melihat satu langkah, tetapi memang seperti itulah iman bekerja: iman dimulai dari satu tindakan kecil, satu respon sederhana yang membuka jalan bagi segala hal besar yang Tuhan ingin kerjakan. Ketika ia melepaskan jubah itu, ia sedang menyatakan bahwa masa depannya tidak lagi ditentukan oleh sejarahnya. Dan di sinilah kita melihat prinsip rohani yang sangat kuat: apa yang kau lihat secara rohani akan membentuk apa yang akhirnya terlihat secara jasmani. Mata iman tidak memandang keadaan, tidak tunduk pada fakta, dan tidak dibatasi situasi; mata iman berpegang pada apa yang Firman katakan ,melihat hasil akhir sebelum hasil itu muncul dalam realita. Ketika mata rohanimu menangkap gambaran pemulihan, masa depan, identitas baru, dan kehormatan yang Tuhan tetapkan, maka langkah imanmu mulai bergerak ke arah yang Tuhan perlihatkan. Dan ketika langkah iman mulai berjalan, realita jasmani akhirnya menyusul  blueprint yang pertama kali terlihat dalam alam spiritual. Apa yang terjadi di alam rohani menjadi pola, arah, dan fondasi bagi apa yang akan muncul di alam nyata. 


BHS

Senin, 08 Desember 2025

Berbahagialah !

                  Ucapan bahagia yang Yesus ajarkan di Matius 5 bukanlah motivasi ringan, tetapi deklarasi Kerajaan yang sepenuhnya bertentangan dengan cara dunia bekerja. Dunia mengajarkan bahwa kebahagiaan datang ketika keadaan mendukung: ketika kita kuat, kaya, disukai, dan semuanya berjalan sesuai rencana. Tetapi Yesus justru berkata bahwa orang yang miskin, yang lembut, yang menangis, yang lapar akan kebenaran, bahkan yang dianiaya merekalah yang berbahagia. Kata yang Yesus gunakan adalah Makarios: bukan bahagia karena keadaan, tetapi bahagia karena diperkenan Allah dan dipenuhi Allah.Orang makarios adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Mereka tidak lagi hidup untuk membuktikan sesuatu. Mereka tidak lagi terikat pada validasi dunia. Mereka tidak lagi dikendalikan oleh keadaan luar. Mereka hidup dari sumber di dalam, bukan dari kekuatan di luar. Kepenuhan Allah dalam hati mereka lebih kuat daripada badai yang menekan dari luar. Inilah sebabnya Yesus berani menyebut mereka “berbahagia” meskipun keadaan mereka tampak berlawanan dengan logika manusia.

Daud mengalami makarios bukan saat ia duduk di takhta sebagai raja, tetapi justru saat hidup sebagai buronan. Ia dikhianati oleh orang yang pernah ia layani, dikejar untuk dibunuh oleh raja yang pernah ia hibur, dan ditolak oleh bangsa yang dulu ia bela. Namun justru di musim paling gelap itu—ketika harga dirinya hancur, ketika masa depannya tampak buntu, ketika ia harus berpura-pura gila hanya untuk bertahan hidup ia menulis salah satu pujian paling kuat dalam seluruh Kitab Mazmur. Mazmur 34 lahir bukan dari istana, tetapi dari gua dan ketakutan. Ini kondisi yang memalukan, bukan membanggakan. Tetapi lihat apa yang keluar dari hatinya:

“Aku akan memuji Tuhan pada segala waktu...” (Mazmur 34:2)

Di tengah tekanan, Daud tidak kehilangan pujian. Di tengah ancaman, ia tidak kehilangan penyembahan. Di tengah kekacauan, ia tidak kehilangan penyadaran siapa Tuhan baginya. Inilah makarios. Inilah hati yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Inilah hidup yang tidak dikendalikan keadaan, tetapi dikendalikan oleh Allah. Ketika keadaan luar berantakan, batinnya tetap penuh oleh Tuhan. Ketika badai mengguncang dari segala arah, hadirat Allah mengalir dari dalam lebih kuat daripada rasa takut. Ketika manusia melihat kehancuran, Daud menemukan kepenuhan. Ketika dunia menekan, Allah dalam dirinya memberi kekuatan untuk berdiri. Kepenuhan Allah di dalam diri Daud lebih besar dari kekacauan di luar dirinya. Itulah kebahagiaan sejati bahagia bukan karena nyaman, bukan karena keadaan aman, tetapi karena Allah memenuhi seluruh ruang hidup !! Melalui Renungan hari ini ada undangan untuk kita semua berbahagia !!!

 

BHS

Minggu, 07 Desember 2025

Perjanjian Kasih Setia

             Kasih setia Tuhan adalah kasih yang tidak berubah oleh waktu, keadaan, maupun kegagalan manusia. Ketika Alkitab berbicara tentang kasih setia, itu menggambarkan cinta yang tetap, teguh, dan bekerja aktif menolong serta menopang kita setiap hari. Dalam bahasa Ibrani, kasih seperti ini disebut ḥesed , kasih yang penuh belas kasihan, kebaikan yang tidak habis, dan kesetiaan yang tidak pernah pudar. Lalu ada kata berit, yang berarti perjanjian, yaitu komitmen Allah yang Ia tetapkan sendiri dan tidak dapat dibatalkan oleh apa pun. jadi Berit Ḥesed, yaitu perjanjian kasih setia , kasih Tuhan yang bukan sekadar perasaan, tetapi komitmen kekal untuk mengasihi, menyertai, dan memelihara hidup kita apa pun musim yang kita hadapi. Itulah sebabnya firman berkata, “Tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya; selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!” (Ratapan 3:22–23). Kasih yang seperti inilah yang meneguhkan kita, mengangkat kita dari kelelahan, dan memastikan bahwa kita tidak pernah berjalan seorang diri.

Itulah yang dialami Abraham ketika Allah berfirman, “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau… menjadi perjanjian yang kekal” (Kejadian 17:7). Abraham tidak menerima perjanjian itu pada momen terbaik hidupnya, tetapi di musim ketika ia belum melihat apa pun yang dijanjikan Tuhan. Meski Abraham sempat ragu, mengambil jalan pintas, dan membuat kesalahan, perjanjian Tuhan tidak berubah. Berit Ḥesed tetap menopangnya sampai janji itu tergenapi. Kasih Tuhan bukan hanya memberikan janji, tetapi juga memberi kekuatan untuk bertahan sampai janji itu terjadi dalam hidup.

Seperti seorang ayah yang mengangkat anaknya yang jatuh ketika belajar berjalan, Tuhan pun melakukan hal yang sama kepada kita. Anak itu mungkin jatuh berkali-kali, menangis, bahkan ingin menyerah. Tetapi sang ayah tidak pernah meninggalkan; ia mengulurkan tangan, membersihkan luka, dan menemani sampai anak itu bisa berjalan dengan mantap. Begitu pula kasih Tuhan Ia menopang kita dalam setiap musim, dalam keberhasilan maupun kegagalan, dalam sukacita maupun air mata. Ia tidak menyerah atas kita, bahkan ketika kita lelah. Kasih-Nya tetap baru setiap pagi dan kesetiaan-Nya tidak pernah pudar.

Berit Ḥesed adalah alasan mengapa kita masih berdiri hari ini. Situasi bisa berubah, cuaca hati bisa berubah, orang bisa berubah, tetapi kasih Tuhan tidak pernah berubah. Ia memegang tangan kita, menuntun langkah kita, dan memastikan kita sampai pada rencana-Nya. Kasih-Nya tidak berkesudahan, rahmat-Nya selalu baru, dan kesetiaan-Nya lebih besar dari musim apa pun yang kita alami. Amin.



BHS

Jumat, 05 Desember 2025

Patah dan Remuk Hati

 Mazmur 51:19 (TB)

"Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina, ya Allah."

Ayat ini lahir dari salah satu momen tergelap sekaligus terterang dalam hidup Daud. Mazmur 51 bukan mazmur kesedihan karena keadaan luar, melainkan mazmur pertobatan terdalam yang keluar dari hati seorang raja yang sadar bahwa ia telah jatuh begitu jauh. “Hati yang hancur dan patah” bukan kondisi psikologis akibat tekanan hidup, bukan karena kalah perang, bukan karena dikhianati orang, dan bukan karena ekonomi. Hancur dan patah yang dimaksud Daud adalah runtuhnya kesombongan, melelehnya ego, dan pecahnya kedegilan hati di hadapan Allah yang kudus.

Dan ketika Daud sampai pada titik kehancuran itu, kita melihat satu kenyataan yang sangat manusiawisesuatu yang juga sering terjadi dalam hidup kita. Secara alami, manusia lebih mudah melihat kesalahan orang lain daripada melihat kondisi hatinya sendiri. Kita sering berharap pasangan berubah, anak berubah, jemaat berubah, bahkan keadaan di sekitar kita berubah. Namun kita jarang berhenti sejenak untuk bertanya: apakah hati kita sudah berubah? Daud pun melalui proses ini. Ia sempat menutupi dosanya, membenarkan tindakannya, dan mempertahankan citra dirinya. Namun ketika terang Tuhan menyentuh hatinya, ia akhirnya melihat bahwa masalah terbesar bukanlah orang lain ,bukan Batsyeba, bukan Uria, bukan situasi yang terjadi , tetapi dirinya sendiri.

Hati yang hancur adalah ketika seseorang berhenti berkata, “Mereka yang salah,” dan mulai berkata, “Tuhan, akulah orang yang perlu Engkau ubah.” Hati yang patah adalah hati yang berhenti menuntut perubahan dari luar, dan mulai membuka dirinya untuk diubah dari dalam. Sebab pertobatan sejati bukan tentang melihat dosa orang lain dengan jelas, tetapi tentang melihat dosa diri sendiri dengan jujur. Dan inilah korban yang tidak pernah ditolak Tuhan: ketika seseorang datang bukan dengan prestasi rohani, bukan dengan pelayanan yang hebat, bukan dengan topeng kekudusan, melainkan dengan hati yang remuk, yang mengakui betapa besar kebutuhan akan anugerah Tuhan.

Perubahan sejati selalu dimulai dari sini , dari hati yang lembut , berhenti menyalahkan, berhenti membela diri dan mulai membiarkan Allah membentuknya kembali. Sebab ketika hati berubah, seluruh hidup berubah. Dan dari hati yang dipulihkan itulah Tuhan mulai memulihkan rumah, hubungan, pelayanan, dan generasi.



BHS

Kamis, 04 Desember 2025

Pembawa Roti Hidup !

 Matius 4:4

“Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”

Manusia jasmani kita hidup dari roti, tetapi manusia rohani hidup dari firman yang keluar dari mulut Allah. Sama seperti tubuh tidak bisa bertahan tanpa makanan, manusia rohani kita juga tidak bisa bertahan tanpa firman. Ketika tubuh kita kelaparan, kita langsung merasa lemas, pusing, tidak fokus, bahkan sakit. Tetapi ketika manusia rohani kita kelaparan, gejalanya sering tidak disadari: hati menjadi dingin, doa mulai jarang, ibadah terasa biasa, pikiran mudah kacau, dan godaan terasa semakin kuat. Kita harus bertanya dengan jujur: bagaimana keadaan manusia rohani kita hari ini? Apakah ia sehat? Atau sebenarnya ia lelah dan lapar karena jarang diberi makan? Tubuh kita suatu hari akan berhenti berfungsi, tetapi roh kita akan tetap hidup kekal di hadapan Tuhan. Itu sebabnya memberi makan manusia rohani bukanlah pilihan—itu keharusan. Dan keharusan itu harus dilakukan dengan sengaja. Kita harus menetapkan waktu untuk firman, bukan menunggu waktu tersisa; kita harus membangun disiplin, bukan hanya menunggu rasa “ingin”. Karena manusia rohani yang sehat tidak tumbuh karena kebetulan, tetapi karena keputusan yang terus diulang setiap hari.

Amos 8:11
“Akan datang waktunya… bukan kelaparan akan roti atau kehausan akan air, melainkan akan mendengar firman TUHAN.”

Nubuatan ini berbicara tentang masa ketika bumi akan mengalami kelaparan rohani yang sangat dalam. Orang-orang akan mencari kebenaran, tetapi tidak menemukannya; mereka akan berlari dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk mendengar suara Tuhan, tetapi tetap kosong. Ini bukan kelaparan fisik, melainkan kelaparan akan firman. Dan kita sudah mulai melihat tanda-tandanya hari-hari ini: banyak yang gelisah, haus akan arah, lapar akan jawaban, tetapi tidak tahu ke mana harus mencari.


Namun dalam masa kelaparan ini, Tuhan memanggil orang-orang yang sudah lama makan firman, yang manusia rohaninya sudah dibangun dan dikuatkan, untuk menjadi pembawa roti hidup bagi generasi ini. Ketika kelaparan firman tiba, saat itulah gereja harus bangkit. Mereka yang sudah kenyang firman harus mulai membagikannya kepada yang lapar. Mereka yang sudah dibentuk dalam kebenaran harus mulai menuntun yang tersesat. Mereka yang sudah ditempa oleh firman harus mulai menjadi suara Tuhan bagi yang mencari jawaban.

Inilah esensi revival yang sejati: bukan sekadar keramaian atau suasana emosional, tetapi kembalinya generasi kepada Firman Allah. Revival terjadi ketika firman kembali menjadi pusat hidup. Ketika kebenaran kembali dicari. Ketika hati kembali lapar akan suara Tuhan. Dan di masa seperti ini, Tuhan tidak hanya ingin kita kenyang, tetapi juga menjadi saluran makanan rohani bagi banyak orang. Revival dimulai ketika firman masuk dalam hidup kita—dan menyebar lewat hidup kita kepada orang lain.



BHS

Rabu, 03 Desember 2025

Terlalu Terbiasa

              Salah satu bahaya terbesar dalam hidup orang percaya adalah terlalu terbiasa dengan hal-hal rohani. Terlalu terbiasa dengan hadirat Tuhan sampai akhirnya kita tidak lagi menyadari kemuliaan-Nya. Terlalu terbiasa dengan ibadah, doa, dan aktivitas pelayanan sampai kita lupa bahwa semua itu adalah perjumpaan dengan Pribadi yang hidup.


Orang-orang Nazaret adalah contoh paling jelas. Markus 6:1–6 mencatat bagaimana Yesus, yang sejak kecil mereka kenal sebagai “anak tukang kayu”, kembali ke kota-Nya. Mereka melihat Yesus hanya dari sisi jasmani—sebagai anak muda yang biasa memotong kayu, membantu ayah-Nya, dan tumbuh bersama mereka di jalan-jalan Nazaret. Karena mereka terlalu terbiasa, mereka gagal melihat siapa Dia sebenarnya: Anak Allah. Akibatnya? Firman berkata, Yesus tidak dapat membuat banyak mujizat di sana. Bukan karena kuasa-Nya kurang, tetapi karena penerimaan mereka kecil. Mereka kehilangan ekspektasi. Mereka kehilangan iman. Mereka kehilangan rasa hormat dan takjub. Padahal Allah sanggup melakukan jauh lebih banyak dari yang kita doakan atau pikirkan (Efesus 3:20). Tetapi orang Nazaret tidak mengalami itu karena mereka terlalu terbiasa dengan “Yesus yang mereka kenal”, bukan Yesus yang seutuhnya !

Contoh lainnya adalah Hofni dan Pinehas, imam-imam yang hidup dekat dengan tabut Tuhan 1 Samuel 2.  Mereka begitu terbiasa dengan benda paling kudus di Israel, sampai akhirnya tabut pun tidak lagi berarti apa-apa bagi mereka. Tidak ada hormat, tidak ada takut akan Tuhan, tidak ada kesadaran bahwa hadirat Allah ada di tengah-tengah mereka. Ketika hati menjadi terbiasa, maka hati menjadi tumpul. Yang kudus menjadi biasa. Yang ilahi terasa umum. Dan di titik itu, kita mulai kehilangan kapasitas untuk melihat kemuliaan Tuhan.

                   Jangan menjadi terlalu terbiasa dengan Tuhan sampai kita lupa bahwa Dia adalah Tuhan. Jangan sampai kita hanya melihat Yesus dari sisi  biasa saja , sebagai sosok yang kita dengar sejak kecil, yang kisah-Nya kita tahu di luar kepala sampai kita kehilangan kesadaran bahwa Pribadi yang sama itu adalah Allah yang Mahakuasa yang berjalan bersama kita hari demi hari. Setiap doa yang kita ucapkan, setiap ibadah yang kita jalani, setiap waktu teduh yang kita bangun, seharusnya menjadi momen untuk kembali melihat siapa Dia sebenarnya: Raja yang berkuasa, Bapa yang penuh kasih, Pribadi yang sanggup melakukan apa pun. Karena itu, bangunlah kembali rasa hormat, rasa lapar, dan rasa kagum itu. Saat hati kita kembali dipenuhi ekspektasi terhadap apa yang Tuhan bisa lakukan, kita akan mulai melihat Dia bekerja dengan cara-cara yang jauh lebih besar, lebih dalam, dan lebih luar biasa dari apa yang pernah kita bayangkan.


BHS

Selasa, 02 Desember 2025

Pertolongan Tuhan !

“Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?” (Mazmur 121:1).

Ketika Daud mengucapkan kalimat ini, ia sedang berada dalam tekanan yang sangat berat. Gunung-gunung yang dilihatnya bukan hanya pemandangan alam, tetapi lambang dari tempat-tempat penyembahan berhala di zaman itu tempat bangsa-bangsa mencari pertolongan dari dewa-dewa palsu seperti Baal, Asyera, Molokh, dan dewa lokal lainnya yang dianggap mampu memberi hujan, perlindungan, atau kemenangan. Saat Daud mengangkat matanya ke arah gunung-gunung tersebut, sebenarnya ia sedang menggambarkan pergumulan di dalam jiwanya: apakah ia harus mencari pertolongan seperti dunia mencari pertolongan? Apakah ia harus mengandalkan sesuatu yang tampak lebih cepat, lebih dekat, dan lebih nyaman bagi dagingnya? Itulah gambaran yang sangat dekat dengan kehidupan kita hari ini. Ketika tekanan datang, sering kali daging kita bergerak lebih dulu. Kita mulai melihat ke segala arah siapa yang bisa menolong, siapa yang punya koneksi, siapa yang punya kuasa membuka jalan. Dalam hati kita berkata, “Mungkin pertolonganku dari dia… dari mereka… dari sesuatu yang kelihatan…” Namun pada saat seperti itu, roh Daud bangkit dan menegur jiwanya dengan tegas.

“Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” (Mazmur 121:2).
Ini bukan sekadar jawaban logis; ini adalah seruan iman dari roh Daud. Ia seakan berkata kepada dirinya sendiri, “Hei jiwaku! Berhenti melihat ke gunung-gunung itu! Jangan berharap kepada manusia! Pertolonganku tidak datang dari apa yang kelihatan. Pertolonganku datang dari Tuhan! Jika Dia sanggup menciptakan langit dan bumi, Dia pasti sanggup menolongku!” Pada momen ini, roh Daud mengambil alih jiwanya, dan meskipun situasi belum berubah, ia memilih berdiri teguh pada iman bahwa pertolongan sejatinya berasal dari Tuhan.

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan, sangat terbukti.” (Mazmur 46:2).
Kebenaran ini sebenarnya sudah lama Daud ketahui. Ia telah berulang kali melihat Tuhan menjadi perlindungan, kekuatan, dan penolong yang setia dalam setiap kesesakan yang ia hadapi. Namun Mazmur 121 menunjukkan sebuah momen jujur dalam hidup Daud momen ketika jiwa dan dagingnya sangat kuat, dan kecenderungan manusiawinya membuat ia sempat melirik kepada sumber-sumber pertolongan lain.

Dan bukankah itu juga sering terjadi dalam hidup kita? Saat jiwa dan daging melemah, mata jasmani kita mulai melirik ke kanan dan ke kiri, mencari pertolongan dari yang kelihatan: manusia, koneksi, kenyamanan, atau solusi cepat. Tetapi biarlah hari ini roh kita bangkit dan menyatakan dengan penuh keyakinan, “Allahku tempat perlindungan dan kekuatanku. Dia penolongku dalam kesesakan dan Dia sudah terbukti. Ya, hanya Tuhan pertolonganku!”


BHS

Senin, 01 Desember 2025

Labor in Prayer !

                  Shalom, saya ingin membagikan sesuatu yang saya alami semalam. Saya mengalami sebuah mimpi yang terasa sangat nyata. Dalam mimpi itu, saya sedang menggendong seorang bayi. Tiba-tiba musuh datang menyerang. Dalam keadaan panik, saya mencoba berlari, tetapi musuh berhasil merebut bayi itu dari tangan saya. Saya kalah !

Namun mimpi itu berulang. Kali ini saya menggendong bayi yang berbeda—dan saya tahu dengan jelas bahwa bayi itu adalah Jedidah, anak saya sendiri. Dan sekali lagi, musuh datang, mengejar, bahkan mengepung saya dari segala sisi. Tetapi di mimpi yang kedua ini saya tidak lari. Saya memeluk anak saya erat-erat, saya berdoa, dan saya terus berdoa. Dan ketika saya berdoa, musuh-musuh itu mundur satu per satu. Bahkan dalam tekanan, saya menang. Saat saya bangun, Roh Kudus berbicara satu kalimat yang kuat ke dalam hati saya: “LABOR IN PRAYER” bekerjalah dalam doa-doamu.

Saya merenungkan mengapa dalam mimpi pertama saya lari dan kalah, tetapi dalam mimpi kedua saya bisa berdiri tenang dan menang. Ternyata jawabannya sederhana: karena dalam mimpi yang kedua, bayi itu bukan sekadar bayi , itu adalah anak saya sendiri. Ada beban kasih, beban tanggung jawab, dan beban yang berbeda ketika saya menggendong anak saya sendiri.

Roh Kudus menegur saya bahwa demikianlah seharusnya hati kita terhadap jiwa-jiwa. Beban untuk jiwa-jiwa tidak boleh sekadar tugas atau rutinitas. Itu harus lahir dari kasih seorang ayah, kasih seorang ibu, kasih yang membuat kita tidak lari, tetapi berdiri, berdoa, dan berjuang sampai menang. Beban yang membuat kita “labor in prayer”—bekerja, berperang, dan melahirkan sesuatu di dalam doa.

Galatia 4:19: “Anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus terbentuk dalam kamu.”

Paulus tidak hanya mengajar jemaat Galatia—ia menanggung mereka dalam doa, seperti seorang ibu yang mengalami sakit bersalin. Ia merasakan beban yang membuatnya tidak lari, tidak menyerah, tetapi terus berdoa sampai Kristus terbentuk dalam hidup mereka.

Mimpi itu menunjukkan satu hal: beban untuk jiwa-jiwa harus seperti beban seorang ayah atau ibu terhadap anaknya sendiri. Beban yang membuat kita bersedia ‘menderita sakit bersalin’ dalam doa, seperti Paulus. Beban yang membuat kita tidak lari ketika musuh mengepung, tetapi berdiri, menggendong jiwa itu, dan ‘labor in prayer’ sampai Kristus terbentuk dalam hidup mereka. dan ketika kita labor in prayer , mungkin tidak hanya satu hari , tidak hanya satu waktu  , harus terjadi berkali-kali , berhari-hari , karena memang haruslah demikian , sampai kita bisa melahirkan dan menjaga bayi ini dalam doa-doa kita/  dalam roh ! , dan pada akhirnya apa yang terjadi didalam roh , akan terjadi didalam nyata ! 

Inilah panggilan Roh Kudus: jangan hanya berdoa, tetapi labor in prayer. Bukan sekadar mendoakan jiwa-jiwa, tetapi menggendong mereka dengan kasih, dengan beban, dengan pergumulan sampai rupa Kristus benar-benar terbentuk. Yesus Tuhan !!



BHS